Ayah yang Aku kenal

09:25:00

Tulisan ini saya tulis dikala saya merindukan sosok ayah, merindukan kehadirannya sekedar untuk berbincang-bincang, melihat senyumnya. Namun itu tidak mungkin terjadi karena beliau sudah istirahat untuk selama-lamanya. Ayah adalah orang yang pertama yang membua saya merasakan kesedihan yang amat dalam dikala kepergiannya. Beliau meninggal pada hari selasa, 27agustus 2019 (Selamat Jalan Ayah)

 

Saya dilahirkan pada tanggal 04 Desember 1996 dari seorang ayah bernama Mukhtar, beliau dilahirkan di Seumet salah satu gampong di kecamatan montasik. Siapa yang tidak kenal montasik ? Kecamatan yang tentu sering masuk berita dengan berbagai macam ceritanya entah itu cerita kriminal, narkoba atau prestasi. Seawam pandangan saya, montasik terkenal dengan tipe masyarakstnya yang keras. Sebut saja cerita 'Tak ngon parang’ yang sering menjadi penghias di koran-koran. Montasik memang terkenal dengan masyarakatnya yang keras, pemberani, cerdas. Watak tersebut mungkin turun juga kepada ayah. Beliau orang montasik dan saya menyebut beliau termasuk keras kepada anak-anaknya. Keras di sini dalam artian positif.

Ayah dan Ibu Saya

Ada cerita bagaimana kerasnya ayah ketika mendidik saya selaku anaknya untuk menjadi anak yang baik dan sukses di kemudian hari. Pertama munngkin cerita yang sangat membekas dalam ingatan saya itu ketika saya kecil berumur sekitar 9 atau 10 tahun. Ayah dan ibu merupakan guru pertama saya dalam mengajarkan Al-Quran bacaan shalat dan lainnya tentang agama. Ayah termasuk orang yang anti menitipkan anaknya untuk diajarkan bacaan Al-Quran dan pelajaran agama lainnya (Jak beut) sebelum anaknya benar bisa membaca Al-quran. Umur 9 atau 10 tahun ketika saya belajar membaca Al-quran dengan Ayah dan ibu, saya kadang termasuk yang tidak patuh. Kadang tidak mau lanjut ngaji karena kesal dengan satu dua hal yang tidak dituruti oleh ayah saya. Pernah suatu ketika saya marah dan sengaja tidak mau membaca Al-qur'an sebagai rasa keberatan saya karena kemauan yang tidak dituruti oleh ayah. 

 

Ayah cukup marah waktu itu, dan saya masih terbayang dengan jelas bagaimana marahnya beliau saat itu. Sedangkan saya tetap dengan pendirian saya waktu itu tidak mau mengaji. Kemarahan ayah yang memuncak membuat beliau menarik saya dan membawa keluar rumah dan saya dikeluarkan dari rumah dari pintu belakang. Sekedar info, belakang rumah saya waktu itu cukup gelap dan saya menangis tersedu-sedu saat itu. Mungkin tidak sampai 10 menit pintu kembali dibuka dengan jurus kasihan ibu saya saat itu sehingga kembali mebuka pintu. Saya merasakan trauma saat itu, sebagai anak-anak rasa benci kepada ayah pasti tumbuh waktu itu. Walaupun ayah kembali memeluk dan menasihati saya saat itu untuk tidak begitu lagi. Trauma itu tetap tumbuh sampai saya baru bisa menafsirkan apa yang dilakukan oleh ayah pada waktu itu merupakan suatu hal bentuk kasih-sayang agar saya bisa mengaji.


Mungkin ini bisa menjadi pelajaran bagi saya kedepan jika mempunyai anak untuk tidak menggunakan kekerasan yang demikian, karena sedikit banyak itu akan menimbulkan trauma bagi anak-anak dan dari trauma itu dapat menimbulkan kebencian. Mungkin dalam mendidi anak saya suka seperti yang Gus Baha katakan. Orangtua itu harus menjadi orang yang paling diidolakan oleh anak-anak. Caranya dengan membuat mereka senang dengan kita, minta jajan dikasih dll. Masalahnya ketika orangtua menjadi orang yang tidak nyaman bagi anak mereka akan mencari kenyamanan baru diluar orangtua, dan itu bisa lebih berbahaya lagi. Entah itu narkoba, pergaulan bebas, mabukan dll.

 

Disini saya tidak mau menyalahkan cara ayah dalam mendidik anaknya. Saya justru menceritakan ini sebagai pelajaran bagi saya kedepannya bagaimana dalam mendidik anak. Selain itu, karakter saya yang terbentuk dari lingkungan mungkin mengharuskan untuk dilakukan sedikit kekerasan untuk kebaikan saya juga kedepannya. Obat yang pahit menjadi sebab tubuh menjadi sehat. Boleh jadi, karakter saya yang terbentuk saat ini tidak lepas dari didikan keras Ayah dulu. Walaupun saya melihat diri sebagai pribadi yang tenang, tidak meledak-meledak. Apapun itu setiap orang mempunyai cara dan pandangannya masing-masing tentang bagaimana seharusnya mendidik anaknya. 

 

Jika di umur 9 sampai dengan 15 tahun pandangan saya tentang ayah sebagai sosok yang sangat kejam, tidak bersahabat dengan anaknya. Memasuki usia mulai sekolah menengah kejuruan, pandangan saya dengan sosok ayah justru berubah 360 derajat, ayah adalah hero, orang yang paling peduli terhadap anaknya saat itu, dan masa depannya . Faktor bertambah usia sehingga semakin dewasa dalam berpikir tentu saja berpengaruh. Dan tidak dapat dipungkiri, faktor pendidikan sebelumnya juga berpengaruh sehingga saya tersadarkan bahwa apa yang ayah lakukan dulu sebenarnya karena faktor sayang. Saya termasuk beruntung dapat melihat kasih sayang ayah dulu dalam bentuk sedikit keras di waktu saat ini, dan saya merasa ayah saya telah mengajarkan hal yang benar.

 

Saya kadang menitikkan air mata sendiri, ketika saat itu saya baru memasuki sekolah menengah kejuruan yang mengharuskan untuk adanya laptop dan sepeda motor untuk perjalanan. Memiliki laptop adalah idaman saya dari SMP. Dalam bayangaan saya dengan memiliki laptop saya dapat memainkan game favorit saya PES tanpa harus rental PS. Begitu juga dengan sepeda motor ini impian saya saat SMP yang tidak bosan-bosannya saya minta untuk dibelikan. Dalam bayangan saya memiliki sepeda motor pribadi itu bisa bebas jalan dengan teman kemana saja tanpa ada yang ganggu, bebas untuk modif sesuai keinginan.  Mengenai modif sepda motor, saya termasuk orang yang tidak suka dengan kaca spion saat itu dan memasang lampu belakang lampu putih. Sering kena tilang polisi. Ayah sering menasehati “ Awak jepang tip2 dipugot sesuatu kaditupu kelebihan jih, kajak kah kaploh nyo kaganto jeh. Carong jepang ngon kah” Saya sering tersenyum sendiri kalau mengingat momen itu, Haha benar juga ya.

 

Bisa anda bayangkan bagaimana excited nya saya saat itu ketika memiliki Laptop dan Sepeda motor dengan tanpa susah payah saya minta untuk dibelikan. Malam harinya, saya sering menitikkan air mata ketika membayangkan itu semua. Apalagi jika memandang wajahnya yang sedang tertidur pulas, wah mata saya langsung berkaca-kaca, sambil berkata dalam hati  "Apa yang bisa engkau banggakan dari diriku, Ayah, aku hanya bisa menyusahkanmu". Dan perenungan itu bagian dari proses kedewasaan saya untuk tidak menyusahkan orangtua, menuruti perkataan mereka. 

 

Ayah orang yang sangat visioner, beliau paham di umur berapa anaknya layak diberikan handphone, laptop maupun Sepeda Motor. Dengan karakternya yang kadang acuh ketika dimintakan sesuatu. Padahal, itu semua beliau lakukan karena belum layaknya saya mendapatkan apa yang saya inginkan. Beliau sangat jeli untuk melihat apa yang menjadi kebutuhan anak-anaknya bukan apa yang menjadi keinginan anaknya.

 

Dari kecil saya dididik untuk menjadi seorang yang tidak manja, tidak dalam kemewahan. Untuk urusan memanjakan anaknya dalam artian menuruti semua kebutuhan saya, saya yakin bukan perkara yang sulit bagi ayah saya. Begitu juga dalam hal hidup kemewahan, misalnya saya minta dibelikan handphone, sepeda motor diumur saya masih SD maupun SMP saya yakin ayah dapat memenuhinya, dan itu tidak beliau lakukan.

 

Begitulah beliau, mendidik anaknya selalu dalam keadaan biasa saja, harus mandiri. Pernah ketika beliau ingin membangun beberapa toko di daerah Montasik . Saat itu daerah tersebut bukannlah tempat yang dapat dikatakan maju untuk perputaran ekonomi, dalam artian tempat itu belum ramainya Toko-toko tempat untuk  masyarakat memenuhi kebutuhannya. Ayah, dengan jiwa visionernya mencoba membeli tanah di daerah tersebut untuk dibangunkan beberapa toko. Saat proses pengisian tanah di pondasi toko, beliau mengajak anak-anaknya untuk ikut meratakan tanah merasakan bagaimana proses menncari uang. Di sela-sela kami istirahat beliau kadang bercanda "Lage nyo keu hek mita peng, kon mangat, makajih belajar beu sungguh nyeu han ek hek lagenyo". Beliau ingin mengajari anaknya bagaimana merasakan lelahnya mencari uang,bersyukur, dan mau belajar agar nantinya tidak merasakan lelah seperti itu.

 

Dalam bidang agama, beliau juga mendidik dengan sangat perhatian terhadap masa depan anaknya dalam bidang agama. Seperti yang saya sebutkan diatas, ayah tidak akan menitipkan anaknya kepada orang lain untuk belajar agama sebelum anaknya dapat membaca Al-quran dengan lancar, dapat membaca doa shalat dengan lengkap. Sebelum memasuki Sekolah Dasar saya sudah bisa hafal doa shalat dan  membaca Al-quran dengan hampir lancar. Guru pertama saya yang mengajarkan Al-quran adalah orangtua saya. 

 

Baru memasuki kelas 3 Sekolah Dasar saya mulai dititipkan di balai pengajian dan belajar tentang agama sedikit banyak saat itu. Memasuki SMP saya memilih mondok di pesantren modern dan beliau mendukung. Saat itu, ada kesalahan niat dari saya ketika memasuki pesantren yaitu ingin belajar silat dan bermain bola. Alhasil, banyak kelakuan saya yang menyusahkan orangtua dan botak sudah menjadi hal yang biasa karena hukuman. Masa SMP adalah masa saya sering membuat ayah marah. Beliau harus bolak-balik ke pesantren untuk mengantarkan anaknya yang cabut dari pesantren. Kemarahan ayah, sudah menjadi pemandangan saya sehari-hari. Dan anak SMP ini kembali melakukan hal yang sama berulang-ulang..hahaha

 

Saya berulang kali meminta untuk pindah dari pesantren karena merasa tidak betah. Ayah tetap kekeuh saya tidak boleh pindah sebelum saya menyelesaikan sekolah menengah saya 3 tahun disana. Karena, dari awal memasuki pesantren adalah pilihan saya. Dan ayah selalu mengulang-ulang " ka le that peu abeh peng Ayah kah ka, kiban cara 3 thon nyan beu tamat". Singkat cerita saya lulus 3 tahun di pesantren. Ketika keluar dari pesantren saya baru menyadari " oh beginilah kehidupan", saya mendapatkan banyak pelajaran dari pesantren. Dunia pesantren pondasi pertama untuk saya membangun mental yang tangguh menghadapi kehidupan yang sesungguhnya. Di pesantren saya belajar bagaimana hidup mandiri, sabar, disiplin. Dan banyak sekali pelajaran hidup yang saya dapatkan disana. Saat keluar dari pesantren saya suka berpikir, andai saya lebih giat lagi belajar dulu, andai saya lebih menghargai waktu dulu, tentu saya akan mendapatkan banyak ilmu disana. Saya sering menyesali itu.

 

Keluar dari pesantren 3 tahun, saya memutuskan ingin sekolah di SMK dan malamnya ayah mengirimkan saya di Dayah untuk melanjutkan belajar Agama. Perbedaannya jika di pesantren saya dulu diajarkan lebih kepada disiplin ibadah, praktek ibadah, di Dayah saya belajar ilmu untuk beribadah itu. Di dayah saya mulai belajar lagi dasar dari kitab-kitab klasik para ulama. Jika dulu shalat hanya ikut-ikutan baca ini , baca itu tanpa tau rukun dan syarat di dayah kami mulai mengkaji dari nol tentang ilmu sebelum beribadah.

 

Saya rasa ayah sudah memenuhi kewajibannya untuk menjadikan anak-anaknya sebagai penerus sujud ketika beliau telah tiada. Waktu kecil tidak jarang saya mendengar nasihat ayah "Neuk, mungkin 10 thon ukeu ayah ka meninggal, nyeu ayah meninggai bek tuwo meudoa keu ayah" dan kata-kata ini juga sering saya dengarkan beliau ucapkan kepada adik-adik saya. Yang membuat kadang saya menagis sendiri di tengah malam adalaah ketika teringat dengan kata-kata itu. Berat rasanya kerinduan ketika teringat kata-kata itu. Terkadang saya juga  merasa sebagai anak yang tega dan tidak tahu diri ketika lupa dengan kata-kata itu.

 

Dari kecil hingga tumbuh dewasa ayah saya menjaga anaknya agar tidak salah pergaulan. Beliau sering memperingatkan " Meungon ngeun ureng carong tanyo bakal carong, mengon ngeun ureung bangai tanyo bakal bangai". Beliau sangat marah ketika mengetahui saya berkawan dengan orang yang di tengah masyarakat dianggap sebagai anak nakal dan tidak jelas arah kehidupan. Tidak jarang saya mendapati nasihat dari ayah " Ta mengon ngeun ureung jahat nyeu han ek tahu jih u arah get tanyo yang dihu u arah jahat". Begitulah ayah dalam mendidik anak-anaknya untuk taat terhadap agama dan menjadi anak yang dapat mendoakan orangtua ketika orangtua telah tiada.

 

Mungkin saat kecil saya belum bisa menafsirkan kasih sayang dan cinta ayah terhdap anaknya dalam bentuk memperingati, memarahi, bahkan sedikit dengan kekerasan, akibat diri saya yang tidak patuh saat itu, diri saya yang belum bisa melihat arah kehidupan kemana. Padahal, itu semua justru membentuk pribadi saya saat ini ketika dewasa. Alhamdulillah saat ini ketika dewasa, saya tidak mabuk-mabukan, tidak narkoba, tidak menyusahkan orangtua, mengerti sedikit banyak tentang kewajiban diri sebagai manusia beragama, bisa dibilang lurus-lurus saja. Begitulah kehidupan, obat terasa pahit, namun memberikan manfaat. Kehidupan saya waktu kecil dididik oleh ayah tidak sedikit kadang terasa pahit oleh saya sebagai anak yang memang nakal. Namun ,sekarang saya menyadari bahwa dengan pendidikan demikianlah membentuk karakter saya saat ini. Pun juga, saya menyadari bahwa karena kasih sayang Ayah sangat besar semua itu belia lakukan.

 

Ayah juga orang yang sangat tangguh. Sebesar apapun masalahnya beliau tidak ingin menampakkan kelemahan di depan anak-anaknya. Pernah suatu ketika waktu kecil adik dan kakak saya sering berantam, dan sudah diingatkan beberapa kali juga oleh ayah untuk tidak mengulanginya lagi. Namun, hal yang sama juga terjadi lagi dan lagi. Mungkin saat itu, pertama kalinya saya melihat ayah manmpakkan emosi kesedihannya, beliau menangis, mengambil parang, lalu memanggil kedua anaknya "Kalau kalian terus berkelahi seperti ini, berarti kalian tidak sayang sama Ayah, ayah sudah memeringatkan beberapa kali tapi kalian tidak peduli. Ka tak (tebas) ayah ngon parang nyo, menyo awak dro hana sayang ke Ayah" ucap beliau sambil menangis. Seketika semua anaknya menangis, termasuk saya. Itu pertama kali saya melihat emosi kesedihan yang ditampakkan oleh ayah dan terakhir.Dan cukup sebagai obat bagi anak-anaknya untuk tidak mengulangi hal yang sama.

 

Selain itu, saya tidak melihat emosi kesedihan yang ditampakkan oleh ayah saya lagi. Bahkan, di saat-saat saya mengetahui bahwa beliau dalam keadaan galau berat, sakit yang sangat parah. Beberapa minggu sebelum beliau meninggal, ayah sering mengeluhkan sakit jantung dan saat di periksa ke dokter adanya penyumbatan pembuluh darah di jantung yang cukup parah, sekitar 80% dari aliran darah ke jantung sudah tersumbat. Beliau berencana memasang ring untuk mengatasinya, namun ring tidak akan efektif jika penyumbatan sudah 80%. Solusi satu-satunya, transplantasi jantung dan resikonya cukup besar.

 

Beliau tidak mau melakukan tranplantasi jantung, karena resikonya lebih besar, dan memilih mencari obat-obat herbal. 2 bulan sebelum kepulangan ayah beliau sudah sering mengeluhkan sakit di dada yang sangat perih menurut pengakuannya. Bahkan, sakit itu bisa sampai 10 kali dalam sehari. Apabila sakit itu datang, kami harus memijatnya di seluruh badan. Ayah seringmengatakan ketika ada orang yang mengunjunginya " sakit nyo rasa jih, lage kulit ta pluk, ta bayangkan laju menyeu meninggal sakit bak nyo bacut teuk". Saya mendengar kata-kata itu keluar dari mulut ayah sekitar satu minggu sebelum beliau meninggal. Tak ada rasa takut dan hilang semangat hidup yang beliau tampakkan. ayah tetap menampakkan wajah ceria dan ngobrol santai kadang-kadang.

 

Begitu juga, ketika saya jauh dari kampung, kadang saya menyarankan bagaimana kalau di transplantasi saja jantung ayah agar sakit itu bakal hilang. Saya sering menangis di malam hari setelah beliau menceritakan bahwa operasi pemasangan ring tidak dapat dilakukan mengingat penyumbatannya sudah sangat parah. Apalagi ketika membaca di artikel-artikel bahwa penyakit jantung ini pembunuh nomor 1 di dunia. Rasanya saya belum siap membayangkan ayah meninggal saat itu. Dan itu yang sering saya bayangkan tiap malam dan menbuat saya menitikkan air mata. Yang membuat saya tidak habis berpikir bagaimana beliau dapat setegar dan sesabar itu. Ketika ayah masa-masa sakit dan saya jauh di kampung sering saya menanyakan kabar "Get, ayah sehat-sehat mantong, hana pu2" itu kata yang sering beliau ucapkan. 

 

Beberapa hari menjelang ayah meninggal, saya sudah sering melihat beliau berzikir, merenung, seperti bakal mengetahui bahwa umurnya tidak lama lagi. Sebulan sebelum ayah meniggal beliau bahkan sudah mengumpulkan semua anak-anaknya. Berwasiat kepada kami 

 

"ayah merasa umur tidak lama lagi,  seandai jih ayah meninggal jangan sampai kalian berantam sesama saudara, saling menjaga adik-adik. Bek tuwo cit meudoa keu ayah. Ayah na rezeki bacut yang Allah bi. Insya Allah rezeki nyo halal, ayah hana meucu ata gob, ayah hana peungeut gob. Seandai jih na kureung bacut saho nyo ta lake ampun bak Allah"

 

Ketika mendengar wasiat itu, saya sudah menitikkan air mata. Jujur saya belum siap membayangkan tanpa beliau. Dan saat ini air mata itu kembali menitik ketika saya sedang menulis ini sambil membayangkan momen itu. 

 

Bukan ingin mengulang duka lama, saya hanya ingin membagikan kehidupan ayah saya biar orang yang membaca ini dan nanti ketika saya punya anak mereka tahu 'ini loh kakek kamu' beliau orang yang sangat kuat secara mental dan berhasil menndidik ayahmu hingga seperti ini, beginilah ayah dulu dididik. 

 

Akhir kalam, saya hanya mengharapkan siapa saja yang membaca tulisan ini berkenan mengirimkan satu bacaan Al fatihah untuk pahlawan saya yang bernama Mukhtar bin Arsyad. Semoga Allah jadikan kuburnya Raudhatan min riyadzil jannah (Taman daripada taman-taman surga). Dan saya bersaksi bahwa beliau meninggal dalam keadaan tabah dan sangat sabar menghadapi penyakitnya, semua itu menjadi asbab diampuni segala dosanya.

 

Alfatihah ilaa ruuhi Mukhtar bin Arsyad....

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


You Might Also Like

0 komentar