Kata sebentar kadang sering menimbulkan makna yang ambigu. Ada dua orang yang merencakan bepergian ke suatu tempat yang sudah direncanakan dan dijadwalkan. Satu orang yang sudah siap menelpon temannya satu lagi menanyakan bagaimana kesiapannya, apakah sudah berangkat, sampai dimana.

Jawaban yang cukup gampang " sebentar lagi sudah sampai". Kata 'sebentar' yang diterjemahkan oleh penunggu, mungkin 5 atau 10 menit. Lalu yang ditunggu mungkin dengan segala persiapannya hingga sampai ke tujuan menghabiskan waktu 30 menit, 1 jam.

Gambar Jam

Alhasil, ada pihak yang di php, dikecewakan. Kata 'sebentar' memang terkesan seperti tidak lama lagi, sedikit lagi. Namun tidak adanya kepastian, dan penafsiran 'sebentar' si A, B dan C berbeda satu sama lainnya. Ada orang menafsirkan sebentar 5 menit, ada juga 10 menit, 30 menit, 1 jam, sehari dan seterusnya. Kata 'sebentar' akan lebih terkesan menghargai waktu dan menghargai penunggu jika diganti dengan estimasi waktu.

"15 menit lagi saya sampai" ataupun "2 hari lagi kerjaan saya selesaikan"

Si penunggu dapat melakukan hal lainnya dalam waktu tersebut, mengatur jadwal lainnya, ataupun batal karena ada jadwal lainnya yang harus dikejar.

Merubah kata 'sebentar' dengan estimasi waktu mungkin salah satu cara kita merubah pola pikir tidak menghargai waktu, tidak menghargai penunggu. Sebelum ke tahap selanjutnya merubah budaya fake time.

Jeans memang budaya barat, budaya kita adalah fake time. Janji poh 8, troh poh 9 wkwkw

Kebahagiaan/kesenangan itu dapat diraih dan punya rumus tersendiri :

Realita-ekspektasi = kebahagiaan

Saya pengen punya mobil (ekspektasi) dan ternyata setelah berusaha saya cuma dapat dana seharga sepeda motor (realita) dan hasilnya pasti bakal minus alias kecewa. Anggaplah ekspektasi dapat mobil nilainya 100 dan realita dapat sepeda motor nilainya 50.

50-100 = -50

Logo Senyum

Ya gak bakalan bahagia kalau hasil dari rumus kebahagiaan minus. Supaya bahagia bagaimana ? Berusaha lebih keras agar bisa menyamai ekspektasi ataupun kurangi ekspektasi. Untuk cara pertama tentu kita harus bersusah payah, punya privilenge ada orang dalam dan lain sebagainya yang kadang mustahil dapat diraih. Namun kadang kita lupa, padahal kita bisa mendapatkan kebahagiaan dengan memakai cara kedua dan sangat mudah, mengurangi ekspektasi. Kita terlalu fokus bagaimana bahagia dengan mendapatkan ekspektasi yang ada dikepala kita yang mustahil dapat diraih.

Ada orang yang karena sering menonton konten para miliarder pamer harta, pamer pencapaian lalu pengen seperti para miliarder itu, punya mobil mewah, jalan-jalan keliling dunia. Sehingga stres, merasa insecure dengan diri sendiri, merasa tuhan gak adil ( ini paling bahaya) karena memikirkan bagaimana cara agar dapat jalan-jalan keluar negeri, punya mobil mewah. Dan itu banyak dirasakan oleh para millenial.

Kalau ada nasihat yang ingin saya berikan kepada millenial, cuma mau bilang hide semua story ig, story wa para artis atau siapapun yang suka pamer, ada banyak toxic disana. Mengapa? Yang pertama itu akan merubah cata berpikir kita terhadap ekspektasi dalam kehidupan. Yang kedua, itu bukan realita sesungguhnya, mereka hanya membagikan hanya apa yang ingin mereka bagikan dan yang pasti itu yang menurut mereka disenangi atau banyak diimpikan banyak orang.

Lalu bagaimana agar kita bisa senang ? Ya biasa-biasa saja, pakai standar minimalis kalau kata Gus Baha'. Maka benarlah kata Gus Baha' mengutip perkataan imam ibnu athailah :

"berusaha sedikit mungkin apa yang membuat kita senang, maka akan sedikit pula apa yang membuat kita sedih"

Kurangi ekspektasi kita bakal hidup tenang dan bahagia. Bermimpikan harus setinggi langit ? Ya silahkan, tapi cobalah untuk memikirikan kemungkinan terburuk, untuk melatih pikiran agar seandainya tidak sesuai ekspektasi ya biasa-biasa saja, masih bisa tersenyum, dan yang paling penting syukur dan ridha akan ketentuan Tuhan.

Bakal berbeda jika ekspektasinya untuk kebaikan, semisal menuntut ilmu, target perusahaan. Justru ekspektasi yang harus dipasang setinggi langit agar usaha yang dikeluarkan juga push the limit.

Terhitung sejak saya mulai mencintai dan menikmati pertandingan sepakbola sudah dua edisi AFF yang saya tonton Timnas indonesia berlaga di final dan gagal menjadi juara yaitu tahun 2010 dan 2016. Dua edisi itu pula yang merusak mood saya seharian. Wah, saya bisa membayangkan betul bagaimana mood saya saat itu..Hahaha

Wajar sebenarnya bisa sepatah hati begitu, karena ekpektasi terhadap Timnas saat itu begitu besar ditambah lagi dengan media nainstream memberitakan Timnas yang tidak ada habisnya. Sebut saja 2010 misalnya, berita tentang Okto maniani diincar klub portugal Benfica. Bisa dibayangkan ekpektasi masyarakat saat itu terhadap kekuatan timnas dengan salah satu pemainnya diincar klub benfica...Hahah. Sangat lebay memang.

Untuk saat ini, saya telah menemukan formula nonton timnas tanpa baper, kecewa dan merusak mood. Yang pertama, kita pakai standar minimalis saja. Berpikir secara realistis, tim ini baru dan diisi oleh banyak pemain muda, bisa melangkah sejauh ini sudah merupakan suatu prestasi. Sementara lawan mereka adalah tim thailand yang diisi oleh pemain-pemain berpengalaman, sebut saja Dangda yang sudah malang melintang di liga Spanyol, jepang. Ada juga Chanatip, Theeraton yang sudah kenyang pengalaman di liga jepang.

Yang kedua, berpikir kemungkinan terburuk. Apa kemungkinan terburuknya? Kalah atau dikalahkan dengan skor telak. Dengan berpikir kemungkinan terburuk mood akan terjaga jika kemungkinan tersebut benar terjadi. Istilahnya mood udah dilatih jika kemungkinan itu benar terjadi bagaimana kita bereaksi. Mirip seperti vaksinasi, dimana virus yg dilemahkan dimasukkan ke badan, saat virus betulan datang antibodi sudah mengenal dan membasminya. Hahah

Lalu dengan dua cara diatas apakah dapat menikmati permainan timnas. Tentu saja bisa. Cara diatas kan hanya untuk menjaga agar seandainya tidak menang atau tidak sesuai ekpektasi sikap saya biasa-biasa saja tanpa merusak mood. Bagaimana jika juara? Wah, ini akan menjadi mood booster dan kado terindah tahun baru. Hahah

Kok bisa seheboh itu nonton tim yg berlaga cuma di AFF ? Yang pertama timnas indonesia yg bermain, yg kedua karena cinta sepakbola. Jangan tanya sama Ardes Goenawan mengapa kami bisa segembira ini kalau nonton timnas, jangan juga kepada orang yg hobinya nonton catur bukan sepakbola gak bakalan nyambung.

Dear Ardes Goenawan, suka sepakbola itu berat, biar kami aja...Hahaha

Buya Arrazy Hasyim seorang pendakwah yang namanya semakin masyhur di telinga masyarakat Indonesia. Beliau banyak membawakan kajian ceramah dengan tema-tema penyucian jiwa yang menyentuh qalbu dan tema tentang penguatan aqidah ahlusunnah waljamaah. Secara sanad kelilmuan beliau murid langsung dari muhadditsin indonesia, Syaikh KH Dr. Ali Mustafa Yaqub, MA. Beliau juga belajar dari ulama-ulama suriah yaitu Syaikh Prof Dr. M. Hasan Hito penghafal kitab al-Muwatta’-, Dr Badi Sayyid al-Lahham -murid Syaikh Nuruddin Itr, dan Syaikh Taufiq al-Buthi anak dari Syaikh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi.

Ayah dan anak berjalan. Foto : Pixabay.com

Sebagai orang yang mengidolakan Buya Arrazi, saya sering mendengar ceramah kajian beliau di Youtube Ribath Nouraniah. Saya pernah mendengar, dalam kajiannya, Buya Arrazy pernah mengijazahkan suatu hadist musalsal bil rahmah yang beliau dapatkan dari para masyaikh murid dari Syeikh Yasin Al-Fadani. Para ahli riwayat, ketika mengijazahkan suatu riwayat biasanya selalu mengijazahkan hadist musalsal bil rahmah ini. Hadistnya berbunyi :

ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ(Irhamuu man fil ardh yarhamukum man fissama'

Sayangi makhluk yang di bumi, maka yang di langit akan menyayangimu

Kemudian Buya Arrazi menjelaskan yang dimaksud di langit adalah arwah para nabi, arwah para malaikat, arwah para wali. Jika kita menyayangi yang di bumi maka mareka akan menyayangi kita. Tidak terkenal di bumi bukanlah masalah, yang terpenting yang dilangit terus menyebut nama kita sebagai hamba penyayang. Dengan demikian, insya Allah kita akan terus dalam limpahan rahmat Allah.

Saya sering merinding jika mendengar orang yang membacakan hadist tersebut. Bagi saya, hadist ini tentang bagaimana menjadi manusia seutuhnya, dengan sifat kasih sayang kepada semua makhluk. Apakah itu manusia, binatang, tumbuhan. Selain itu, hadist ini juga tentang bagaimana menjaga toleransi diantara banyak perbedaan, dengan sama-sama memiliki sifat kasih sayang. Boleh saja saya dan anda berbeda, tetapi saya menyayangimu.

Berbicara tentang kasih sayang, saya sering mendengar riwayat yang menyebutkan mereka-mereka yang Allah angkat derajatnya karena sifat kasih sayang yang ada pada dirinya.

Diantara kisah yang pernah saya dengar, ada kisah tentang seorang pelacur yang lewat depan anjing yang menjulurkan lidahnya pada sebuah sumur. Pelacur itu berkata ‘Anjing ini hampir mati kehausan.’ Lalu dilepaslah sepatunya kemudian diikatnya dengan kerudungnya lalu diberinya minum. Dengan sebab sifat kasih sayang yang ada pada dirinya Allah SWT mengampuni wanita tersebut.

Kisah lain tentang Khalifah umar dan Seekor burung. Setelah Khalfah Umar meninggal dunia, beberapa ulama mengaku bermimpi bertemu dengan sang amirul mu`inin itu.

“Bagaimana keadaanmu? Apa yang telah Allah lakukan terhadapmu?” tanya seorang alim di dalam mimpinya itu.

“Allah memaafkanku dan mengampuni dosa-dosaku,” jawab Umar.

“Apa yang membuat Allah mengampunimu? Apakah kedermawananmu, keadilanmu, ataukah karena kezuhudanmu?” tanyanya lagi.

“Tak lama setelah kalian menguburku dan menimbunku dengan tanah, lalu kalian meninggalkanku sendirian, datanglah kepadaku dua malaikat yang sangat menyeramkan wujudnya.

Akalku pun melayang, dan sendi-sendi tulangku gemetaran begitu melihat keduanya. Keduanya lantas memegangku, mendudukkan, dan hendak menanyaiku.

Namun, tiba-tiba aku mendengar suara gaib berkata, ‘Tinggalkanlah hamba-Ku itu dan jangan kalian berdua menakutinya! Sesungguhnya Aku menyayanginya dan telah kuampuni dosa-dosanya. Sebab, di dunia dulu ia menyayangi seekor burung, sehingga Aku pun menyayanginya di akhirat ini.'”

Untuk diketahui, burung yang dimaksud tak lain hewan yang sempat dilihat Khalifah Umar ketika suatu hari berjalan menyusuri Kota Madinah.

Waktu itu, tak sengaja ia melihat seorang bocah memegang seekor burung dan mempermainkannya. Umar pun menaruh rasa iba akan burung itu sehingga ia membelinya dari bocah itu.

Ada juga kisah lainnya yang pernah saya dengar, kisah Imam Al-Ghazali dan seekor lalat. Syekh Nawawi al-Bantani dalam Nashaihul ‘Ibad menulis cerita seseorang yang berjumpa Imam al-Ghazali dalam sebuah mimpi.

“Bagaimana Allah memperlakukanmu?” tanya orang tersebut.

Imam al-Ghazali mengisahkan bahwa di hadapan Allah ia ditanya tentang bekal apa yang ia serahkan untuk-Nya. Al-Ghazali pun menimpali dengan menyebut satu per satu seluruh prestasi ibadah yang pernah ia jalani di kehidupan dunia.

“Aku (Allah) menolak itu semua!” Ternyata Allah menampik berbagai amalan Imam al-Ghazali kecuali satu kebaikannya ketika bertemu dengan seekor lalat.

Suatu saat Imam al-Ghazali tengah sibuk menulis kitab hingga seekor lalat mengusiknya barang sejenak. Lalat “usil” ini haus dan tinta di depan mata menjadi sasaran minumnya. Sang Imam yang merasa kasihan lantas berhenti menulis untuk memberi kesempatan si lalat melepas dahaga dari tintanya itu.

“Masuklah bersama hamba-Ku ke sorga,” kata Allah kepada Imam al-Ghazali dalam kisah mimpi itu.

Saya harus menyadari, betapa dahsyatnya pengaruh hati yang bersih dari egoisme dan semata untuk kepentingan diri sendiri. Kasih sayang Imam al-Ghazali yang luas, bahkan kepada seekor lalat pun, membawa tokoh dengan jutaan pengikut ini pada kemuliaan.

Berapa banyak Allah mengangkat hambanya untuk menjadi kekasih dikarenakan sifat kasih sayang yang dimiliki oleh hamba tersebut. Kasih sayang merupakan salah satu kunci mendapatkan rahmat dan ridha dari Allah SWT. Kasih sayang juga berangkat dari hati yang bersih yang tidak pandang bulu.

Penting untuk saya sadari, ketika melihat kemungkaran yang saya benci bukanlah orang yang berbuat kemungkaran melainkan kemungkaran tersebut. Dengan tetap memiliki rasa kasih sayang terhadap orang yang melakukan kemungkran. Begitu juga ketika melihat orang yang berbeda keyakinan, yang dibenci bukanlah orangnya tetapi kekufuran yang melekat padanya dan dengan kasih sayang mengharapkan hidayah padanya.