(Catatan yang ditulis karena "gabut" di rumah terus)
Sejak lama, saya bertanya-tanya agak "kepo," kenapa sarjana Barat bersedia mati-matian mempelajari budaya-budaya bangsa lain; dan untuk itu, mereka bersedia menempuh jalan terjal yang amat sulit. Tidak mudah bagi sarjana-sarjana Barat ini untuk mempelajari budaya bangsa-bangsa lain, terutama di dunia Timur. Mereka, pertama-tama, harus mempelajari bahasa yang sangat asing bagi mereka. Mereka harus belajar bahasa-bahasa antik seperti Arab klasik, Persia, Turki, Ibrani, Suryani, Ugaritik, Kawi, Sanskerta, Melayu lama, dan bahasa-bahasa lain di kawasan timur yang lain.
Tidak hanya itu.
Mereka juga bersedia membacai dengan kesabaran yang nyaris tak masuk akal
ribuan manuskrip kuno yang amat sulit. Kita bisa membayangkan, betapa terjalnya
jalan yang harus ditempuh oleh sarjana besar Belanda seperti, misalnya, untuk
membacai naskah-naskah kuno berbahasa Kawi dari era Majapahit. Saya heran:
kenapa mereka mau melakukan ini semua? Apakah sarjana kita ada yang
"sesabar" ini?
Saya melihat ada
sesuatu yang agak "problematis" pada (sebut saja) kegilaan
sarjana-sarjana Barat itu untuk mengkaji dunia Timur (termasuk dunia Islam),
hingga bersedia banting tulang, bertungkus-lumus, berdarah-darah (dan saya
tidak sedang mendramatisir ketika memakai kata-kata ini!) untuk mempelajari
bahasa-bahasa "antik" di dunia Timur. Setahu saya, tidak ada bangsa
manapun di dunia yang memiliki kegilaan seperti ini. Apakah ini semua motifnya
semata-mata kecintaan pada ilmu, kehendak memahami budaya bangsa lain, atau ada
dorongan lain yang tak terkatakan sebagai "leitmotif," motif utama?
Sejarawan Islam
besar (harus diakui, memang dia hebat!) Bernard Lewis pernah bertanya dalam
bukunya "What Went Wrong" (2002) begini: kenapa saat peradaban Islam
unggul dulu, sarjana Muslim tidak memiliki hasrat besar untuk mempelajari dunia
lain seperti dimiliki sarjana-sarjana Barat? Sarjana Muslim yang melancong
untuk melongok dunia lain hanyalah segelintir saja jumlahnya, salah satunya Ibn
Battuta (w. 1369). Jumlah ini amat tak sebanding dengan sarjana barat yang
sejak dulu selalu ingin mengkaji dunia lain di luar dunia mereka. Lewis
memiliki spekulasi begini: mungkin karena sarjana Muslim dibebani oleh
"hantu teologis," yaitu memandang dunia lain di luar Islam sebagai
dunia "kafir" yang sama sekali tak layak dipelajari. Apa yang layak
dipelajari dari dunia kafir? Begitu dugaan Lewis.
Saya sangat tidak
setuju dengan pandangan Lewis ini. Pandangan ini hanya menggambarkan prasangka
dia yg memang sejak awal "sinis" pada dunia Islam.
Meskipun sulit
dibuktikan, tetapi saya kira penjelasan Edward Said sebagaimana ia tulis dalam
bukunya yang sudah amat klasik, "Orientalism" (1978), lebih masuk
akal: hasrat yang nyaris gila untuk mempelajari dunia Timur di kalangan ilmuwan
Barat ini adalah bagian saja dari hasrat yang lebih besar untuk mendominasi bangsa
lain; hasrat untuk dominan.
Saya tidak yakin,
hasrat ilmiah pada sarjana Barat ini
semata-mata didorong oleh "kehendak memahami". Saya agak sulit
percaya. Dengan mengakumulasi pengetahuan yang begitu massif tentang
bangsa-bangsa lain, termasuk dan terutama tentang dunia Timur, sarjana Barat
sebetulnya ingin mempertahankan dominasi mereka sebagai bangsa yang menang.
Ini semua bukan
berarti bahwa kita tak bisa belajar dari produk pengetahuan yang begitu kaya
dan mencengangkan yang diusahakan oleh sarjana Barat selama ini. Bukan. Ada
manfaat yang amat besar dalam kajian-kajian mereka mengenai bangsa Timur ini,
dan kita bisa mengambil faedah dari sana. Saya sendiri amat menikmati
kesarjanaan Barat tentang Islam, termasuk tentang Imam Ghazali. Tetapi ini
semua tak boleh membutakan kita untuk melihat sesuatu yg
"tersembunyi": yaitu hasrat mendominasi yang saya duga melandasi kerja
ilmiah sarjana-sarjana Barat.
Ilustrasi pelayaran portugis |
Sejak era awal
Islam hingga saat ini, setahu saya, para sarjana Muslim tidak mengkaji sesuatu
untuk "mendominasi". Ketika ulama Muslim di era klasik mempelajari
filsafat Yunani dan lain-lain, misalnya, mereka melakukan hal itu semua bukan
karena dorongan untuk menguasai bangsa lain. Mereka tidak mengkaji sesuatu tentang
bangsa-bangsa lain dengan tujuan untuk mendukung "hasrat imperial"
yang dimiliki oleh kerajaan-kerajaan Islam saat itu. Mereka mempelajari segala
sesuatu sebagai bagian dari perintah agama untuk memahami. Memahami adalah
tindakan yang baik pada dirinya sendiri, karena akan mendatangkan kebahagiaan.
Kalau kita baca kitab-kitab filsuf besar Muslim bernama Ibn Sina, misalnya,
akan tampak sekali tekanan pada aspek ini: ilmu sebagai sumber kebahagiaan, dan
jalan yang membawa kita kepada Allah, sumber segala ilmu.
Saya kira memang di
sini kita melihat dua "mode of knowing" (cara mengetahui) yang
berbeda antara sarjana Barat dan sarjana-sarjana lain, termasuk sarjana Muslim.
Di Barat, "mode of knowing" tampak amat dibentuk dan disemangati oleh
hasrat untuk dominan. Semangat ini tidak ada, atau kurang menonjol pada sarjana
dari bangsa-bangsa lain, termasuk sarjana Islam di era kejayaan peradaban Islam
dulu. Contoh perbandingan yang menarik: ambisi "imperial" China saat
ini tidak dibarengi dengan hasrat yang "gila" untuk mengetahui
bangsa-bangsa lain seperti pada bangsa Barat.
Bagi saya,
mengetahui untuk mendominasi jelas sesuatu yang bermasalah. Mengetahui,
mestinya, adalah untuk memahami dan mengenal. Setelah mengenal, kita membangun
jembatan dialog, persis seperti etik yang dikenalkan Qur'an dalam surah
al-Hujurat: li-ta'arafu, saling mengenal.
Wallahu a'lam.
Kyai Ulil Abshar Abdalla