“Nyan donya mandum”

05:51:00

Sebagai orang Aceh Ungkapan “nyan donya mandum” tidak asing lagi di telinga kita. Ungkapan tersebut sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari, baik percakapan candaan sesama teman (informal) ataupun percakapan serius oleh seorang yang lebih tua kepada pemuda sebagai nasihat dalam konteks serius (formal).

Ungkapan tersebut biasanya diucapkan oleh seorang yang lebih tua kepada yang muda sebagai nasihat. Misalnya “ Bek that kalet kuliah nyan donya mandum” atau “Bek that kapikee keu peng nyan donya mandum”atau “Keu peu tajak kuliah na ditanyong dalam kubu singoh, nyan donya mandum”. Ungkapan yang diucapkan oleh orang dewasa tersebut mengingatkan seseorang untuk tidak terpaku atau fokus kepada pekerjaan dunia karena tujuan utama adalah akhirat. Dari ungkapan tersebut orang tentu akan paham bahwa Aceh sangat fanatik terhadap Agamanya.

Ungkapan yang mencakup “nyan donya mandum” tersebut sering juga kita dengar dalam percakapan sehari hari antara sesama (informal) sebagai ucapan candaan, misalnya ketika ada tugas kuliah yang menumpuk, kemudian datang teman yang lainnya dengan bermaksud bercanda “bek that kapike nyan, donya mandum”.

Ungkapan “Nyan donya mandum” Untuk percakapan yang informal mungkin wajar sebagai bentuk candaan. Namun, untuk percakapan yang informal saya agak menggelitik mendengarnya apalagi menyangkup dengan penddikan seperti “Keupeu kajak kuliah nyan donya mandum” . Hemat saya ungkapan tersebut dapat meruntuhkan semangat mereka-mereka yang menempuh pendidikan demi kemajuan bangsa dan negara.

Tanpa bermaksud merendahkan pendidikan agama, sebagian masyarakat kita  memang agak membanding-bandingkan antara mereka yang menempuh pendidikan agama dengan mereka yang yang menempuh pendidikan formal. Mereka yang menempuh pendidikan formal dianggap menyia-nyiakan umur mereka hanya bisa menghabiskan uang orangtua. Dan lucunya, biasanya mereka yang  ini juga yang menganggap bangsa ini tidak pernah maju,  yang selalu membanding-bandingkan bangsa ini dengan bangsa lainnya. Mungkin mereka lupa untuk memajukan bangsa ini harus ditempuh melalui pendidikan formal, ilmu dunia.

Hemat saya, ilmu agama yang wajib dituntu itu ilmu tuhid, fiqih dan tasawuf. Jika tiap orang harus mempelajari dengan segala detailnya lengkap dengan dalil segala ibadah dalam agama tentu kita tidak akan pernah melihat dokter, antropolog, psikolog, ahli pertambangan, arsitek, astronom dari orang islam karena mereka harus mempelajari ilmu agama dari seluk beluknya, dan itu bukan waktu yang singkat. Biarlah mereka yang menuntut ilmu formal belajar sesuai dengan keahliannya tanpa meruntuhkan semangatnya dengan ungkapan ungkapan yang dapat menghambat perkembangannya. Toh, ilmu yang bermanfaat itu bukan saja ilmu agama, ilmu dunia pun juga bermanfaat insya Allah.

Saya pernah membaca biografi ulama kontemporer Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, siapa yang tidak kenal dengan beliau? Beliau merupakan cendekiawan muslim terbaik saat ini, beliau juga ketua majelis fatwa dunia. Banyak dari fatwa-fatwanya menjadi rujukan umat di zaman sekarang ini, terlepas dari fatwa-fatwanya yang banyak juga yng mengkritik. Nah beliau, memiliki tujuh anak. Empat putri dan tiga putra. Sebagai seorang ulama beliau sagat terbuka terhadap anak-anaknya untuk menuntut ilmu apa saja sesuai dengan minat dan bakat serta kecenderungan masing-masing. Beliau sama sekali tidak membedakan pendidikan yang harus ditempuh anak-anak perempuannya dan anak laki-lakinya.

Salah seorang putrinya memperoleh gelar doktor fisika dalam bidang nuklir dari Inggris. Putri keduanya memperoleh gelar doktor dalam bidang kimia juga dari Inggris, sedangkan yang ketiga masih menempuh S3. Adapun yang keempat telah menyelesaikan pendidikan S1-nya di Universitas Texas Amerika.

Anak laki-laki yang pertama menempuh S3 dalam bidang teknik elektro di Amerika, yang kedua belajar di Universitas Darul Ulum Mesir. Sedangkan yang bungsu telah menyelesaikan kuliahnya pada fakultas teknik jurusan listrik.

Dilihat dari beragamnya pendidikan anak-anaknya, kita bisa membaca sikap dan pandangan beliau  terhadap pendidikan modern. Dari tujuh anaknya, hanya satu yang belajar di Universitas Darul Ulum Mesir dan menempuh pendidikan agama. Sedangkan yang lainnya, mengambil pendidikan umum dan semuanya ditempuh di luar negeri.


Beliau merupakan seorang ulama yang menolak pembagian ilmu secara dikotomis. Semua ilmu bisa islami dan tidak islami, tergantung kepada orang yang memandang dan mempergunakannya. Pemisahan ilmu secara dikotomis dapat menghambat kemajuan umat Islam.

You Might Also Like

0 komentar