Membayangkan Menjadi Perempuan di Indonesia

07:24:00

Membayangkan bagaimana menjadi seorang perempuan di indonesia tentu saja tidak mudah. Banyak stigma negatif dan perlakuan tidak adil didapatkan di lingkungan sosial. Sebut saja dalam hal pendidikan, perempuan seringkali dituntut untuk tidak terlalu pintar-pintar amat nanti susah ketemu jodoh, dalam artian dalam sekolah biasa saja gak perlu tinggi-tinggi. Inilah fakta yang harus kita akui dan seringkali kita perhatikan, dilapangan juga terbukti banyak wanita-wanita yang sekolah tinggi sulit dalam hal menemukan pasangan. Seolah wanita harus selalu dibawah laki-laki dalam hal pendidikan.

Sumber : Liputan6.com

Dalam penampilan dan berinteraksi, wanita dituntut untuk selalu tampil cantik dan ramah. Hahaha. Dan lebih parah lagi cantik itu didefinisikan orang-orang dengan kulit putih merona. Makanya jangan heran ada produk yang namanya whit* beauty, karena kalau tidak white gak beauty menurut produk itu wkwkw. Ini rasisme sih. Padahal siapa sih yang bisa memilih dilahirkan harus dengan kulit putih atau kecoklatan maupun hitam pekat. Gak ada. Anehnya, kontruksi sosial seperti itu juga memaksa perempuan yang memiliki kulit yang kurang putih minder, merasa gak menarik. Begitu juga dalam berinteraksi perempuan harus selalu tampil dengan wajah ramah, senyum. Jika tidak maka akan dipandang sebagai orang sombong, jutek. Sulit untuk mereka menjadi diri sendiri apa adanya. Tuntutan yang sama kurang kita rasakan sebagai laki-laki. Sistem sosial selalu tidak adil dalam memperlakukan perempuan. Sistem social sering menjadikan perempuan sebagai standar moral.

Yang lebih menakutkan lagi menjadi perempuan di indonesia ketika adanya kejadian pelecehan. Perempuan akan selalu dirugikan dalam hal ini. Jika mereka berpakaian sedikit terbuka, maka yang disalahkan adalah pakaian yang mereka kenakan. Seolah pakaian sedikit terbuka itu menjadi tolak ukur untuk perempuan boleh dilecehkan atau tidak. Sementara jika yang dilecehkan berpakaian tertutup dan pelakunya orang terpandang, ada tekanan berat bagi perempuan ketika ingin bersuara. Takut tidak ada yang percaya, ketika ada yang percaya nantinya lingkungan social juga akan memandang mereka dengan stigma negatif. Dalam hal pelecehan, aktor utama dan yang harus disalahkan tetaplah pelaku, otak pelaku.  Kesalahan dalam hal berpakaian menurut keyakinan kita bukanlah alasan untuk melakukan kesalaahan lain (pelecehan).

Kasus Mas Bechi anak kiai Jombang Ponpes Shiddiqiyyah DPO tersangka pencabulan santri sejak 2019 menjadi bukti  bagaimana seorang beratnya menjadi perempuan. Betapapun juga, atribut agama tidak bisa menjadi tolak ukur bahwa seseorang tidak akan melakukan pelecehan. Pelecehan bisa dilakukan siapa saja. Dan cara paling mudah ketika seorang ingin melecehkan memakai atribut agama adalah meninggalkan akal sehat. Ketika siapapun mengatakan ikuti saja tanpa harus menggunakan akal, disitu kita perlu aware, karena satu-satunya alat untuk dapat membedakan yang mana salah dan benar adalah akal.

 

  

You Might Also Like

0 komentar