Politik Gajah dan Sidom
06:50:00
Jumat itu cuaca agak panas, terik matahari siang
seakan menembus ke peci hitam yang sedang kupakai. Penulis dan teman berjalan
menuju ke masjid yang jaraknya sekitar empat ratus meter dari tempat tingal
kami untuk menunaikan shalat jumat berjamah. Di dalam masjid penulis duduk dan
mendengar isi khutbah yang disampaikan oleh khatib dengan khidmat.
Sang khatib setelah membacakan rukun khutbah
pertama mulai beceramah dengan intonasi santai, rileks, dan berhikmah. Ini
style mubaligh yang penulis sukai, berorasi dengan santai dan santun, tidak meyalahkan
yang ini, tidak mengklaim surga hanya untuk orang yang sepaham dengan dirinya
dan neraka untuk orang yang berbeda dengannya. Sang khatib mulai membicarakan
pesan-pesan damai. Aku mendengar dengan khusyuk.
“ Memasuki tahun politik sekarang ini kita seolah dikotak-kotakkan ke
dalam dua kubu, yang ini merasa paling benar, yang disana disalahkan, yang satu
merasa paling tinggi kemudian menganggap yang lain rendah begitu juga
sebaliknya. Secara tidak sadar kita sedang diperalat oleh orang yang tidak bertanggung
jawab” Kata sang khatib
Kemudian beliau mengutip ayat suci al-Qur’an
“Wa’tashimu bihablillahi jami’an wala tafarraqu(berpegang teguhlah kamu dengan
tali agama Allah dan janganlah terpecah belah)”.
Mendengar ceramah sang khatib penulis rasa apa yang
disampaiakn sang khatib merupakan wujud dari kekhawatiran dan keresahan yang
kita rasakan selama ini. Perbedaan politik sedikit banyak telah terjadi gesekan
diantara masyarakat. Oleh sebab itu, sang khatib ingin menyampaikan pesan perdamaian
agar tidak terpecah belah hanya karena perbedaan pandangan dalam politik. Dan
ini mesti dilakukan di mimbar-mimbar. Mimbar itu untuk mempersatukan umat bukan
memecah belah dengan kampanye politik.
Di tempat yang lain dengan khatib yang berbeda
penulis juga pernah menangkap kata yang sarat akan makna dari seorang khatib
terkait politik “ bek sampe gajah yang melhoe sidom yang mate (jangan sampai
Gajah yang berkelahi semut yang mati)”. Kata ini kalau lebih dihayati
sebenarnya tamparan keras untuk kita yang fanatisme buta terhadap jagoan
politik dan caci maki terhadap lawan politik.
Memasuki tahun politik 2019 juru kampanye dengan
berbagai jurusnya akan menghalalkan berbagai cara untuk memenangkan jagoannya.
Pencemaran nama baik, kabar bohong, kebencian seolah menjadi santapan
sehari-hari masyarakat. Ajang pemilu bukan lagi ajang adu gagasan, program,
inovasi tetapi sudah menjadi adu yang mana benar dan yang mana yang salah.
Pemilu bukan lagi soal siapa yang menang dan siapa kalah tetapi sudah menjadi
siapa yang benar dan siapa yang salah. Masyarakat seolah diberi pilihan ini
adalah kelompok yang benar dan ini kelompok yang salah.
Walhasil, perbedaan pandangan politik dalam kehidupan
masyarakat menimbulkan gesekan, ketidakharmonisan. Ketidakdewasaan masyarakat
dalam memandang politik ini menyebaban saling nyinyir, merasa paling benar,
kurang menghargai pendapat yang lain, saling membenci dan lain sebagainya.
Perbincangan politik selalu hangat dibicarakan di forum, warung kopi sambil
menyalahkan kelompok yang berbeda. Politik para sidom yang seperti ini
dikhawatirkan oleh khatib yang penulis sebutkan diatas. Politik para sidom
belum mengerti bahwa politik adalah soal kepentingan, seni untuk meraih
kekuasaan, dan selalu berubah-ubah (dinamis). Politik merupakan ajang kalah-menang
bukan salah-benar.
Politk para gajah penuh taktik dan strategi.
Mereka menyadari betul langkah apa yang harus dilakukan. Ibarat bermain catur,
mereka sudah menyiapkan strategi dan taktik jitu untuk skakmat lawannya.
Melangkah dengan peniuh hati-hati dan pertimbangan karena kesalahan melangkah
juga akan menjadi boomerang bagi mereka untuk diserang oleh lawan. Politik para
gajah hanya mengejar kepentingan, siapa yang pandai mengatur strategi dia yang
menang.
Sepatutnya, kita sebagai sidom dalam politik
menyadari betul bahwa politik adalah seni untuk meraih kekuasaan. Para gajah memainkan
berbagai cara untuk menarik simpati para sidom. Para sidom harus menyadari
bahwa politik bukanlah segalanya, politik bukan perkara salah benar. Para gajah
berpolitik untuk kepentingan begitu juga dengan para sidom, sebagai sidom dalam
politik kita juga memiliki kepentingan yaitu mencari sosok yang betul mau
mensejahterakan rakyat, sosok yang bersih dari korupsi, sosok yang mampu
membangun negeri. Dalam memilih sosok tersebut boleh saja berbeda pandnagan
tapi persaudaraan tetap harus dijaga. Jangan sampai gajai yang berkelahi semut
yang mati.
0 komentar