17 Agustus Tidak Hanya Panjat Pinang dan Makan Kerupuk

19:05:00


Oleh : Muhammad Areev

Pada tanggal 6 Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom dari atas atas kota Hiroshima, Jepang. Bom yang benar-benar meruntuhkan moral tentara Jepang. Sehari berikutnya BPUPKI yang dibentuk oleh jepang berubah nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta. 3 hari berikutnya setelah jatuhnya bom atom di kota Hiroshima, Amerika serikat kembali menjatuhkan bom atom untuk kedua kalinya kali ini di kota Nagasaki pada tanggal 9 Agustus 1945. Kejadian itu membuat jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini segera dimanfaatkan oleh Indonesia untuk proklamasi kemerdekaan.

Sempat terjadi penselisihan antara kaum muda yang menginginkan kemerdekaan segera diproklamirkan dengan kaum tua yang bersikap lebih hati-hati, tidak buru-buru, proklamasi harus disiapkan secara matang dan proses proklamasi kemerdekaan melalui rapat PPKI.

Sempat terjadi penculikan Soekarno dan Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 03.00 Wib, kemudian mereka berdua dibawa ke Rengasdengklok, Karawang. Kemudian mereka didesak untuk segera memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal tersebut. Soekarno tetap bersikukuh kemerdekaan tidak dapat diproklamasikan pada tanggal tersebut dan beliau telah menyiapkan tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hari proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pada malam harinya beliau kembali ke Jakarta untuk mengadakan pertemuan dengan Jenderal Mayor Nishimura dan Laksamana Muda Maeda.

Teks proklamasi ditulis di ruang makan di laksamana Tadashi Maeda Jln Imam Bonjol No 1. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir.
Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah, Sayuti Melik, Sukarni, dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti Melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 dibacalah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Hingga sampai sekarang peristiwa 17 Agustus diperingati sebagai peristiwa kemerdekaan Republik Indonesia. Peristiwa 17 Agustus ini selalu diperingati oleh Rakyat Indonesia dengan meriah, mulai dari upacara militer di Istana Merdeka, Lomba Panjat Pinang, makan kerupuk dan banyak lomba lainnya.

Saya bingung, kenapa waktu kecil setiap 17 Agustus yang selalu diperingati setahun sekali sebagai hari kemerdekaan Indonesia ini saya tidak menemukan aura kemerdekaan, kepahlawanan dan nasionalisme pada hari itu. Yang saya tau waktu kecil yang selalu diajarkan oleh para guru, 17 Agustus adalah hari kemerdekaan Republik Indonesia. Sekarang setelah saya pikir-pikir, wajar saja jika di hari kemerdekaan Indonesia saya tidak merasakan Aura kemerdekaan, kepahlawanan dan nasionalisme, toh setiap 17 Agustus yang selalu diperlombakan Panjat pinang, makan kerupuk dan lomba-lomba lainnya.

Saya berpikir, kenapa setiap 17 Agustus tidak diadakan acara-acara yang dapat menumbuhkan nasionalisme kepada generasi-generasi muda seperti memperkenalkan para pahlawan kemerdekaan yang rela tumpah darah dalam mempertahankan tanah air dalam bentuk drama yang diperlombakan dan dipertontonkan kepada khalayak ramai. Dengan begitu, dapat memperkenalkan tokoh-tokoh pahlawan, dan menumbuhkan rasa cinta kepada tanah air.

Kalau 17 Agustus selalu diperingati dengan perlombaan Panjat pinang, dan makan kerupuk, nilai nilai apa yang mau diajarkan kepada generasi-generasi muda nantinya?. Bisa-bisa mereka taunya 17 Agustus itu hari panjat pinang dan makan kerupuk bersama bukan hari kemerdekaan republik Indonesia.

Sejarawan Asep Kambali dari Komunitas Historia Indonesia mengatakan rangkaian perlombaan yang sering diadakan pada peringatan hari Kemerdekaan Indonesia, termasuk panjat pinang dan balap karung, tak punya efek positif dalam momen kemerdekaan. Beliau juga mengatakan kegiatan panjat pinang, yang disinyalir diperkenalkan oleh kaum Tionghoa yang sudah ada di Indonesia sejak abad ke-5, adalah peninggalan kolonial karena memang itu mewabah dan penetrasinya hebat di zaman Belanda.

Sejarawan lain, Dharma dari Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan, berpendapat sama dengan sejarawan Asep Kambali ."Panjat pinang adalah warisan kolonial yang kurang mendidik. Apa sih bangganya kalau menang panjat pinang misalnya di kelurahan?" kata beliau

Jika apa yang mereka katakan benar, sungguh sangat memalukan pada hari kemerdekaan Republik Indonesia kita malah mengadakan perlombaan yang ditinggalkan oleh eks penjajah. Dimana letak menghargai jasa para pahlawan yang telah berjuang menumpahkan darah demi terwujudnya Indonesia yang bersatu, berdaulat, adil dan makmur pada diri kita?

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud untuk 'mengharamkan' lomba-lomba yang telah mengakar menjadi budaya setiap peringatan 17 Agusutus, tapi lebih kepada mengingatkan momen 17 Agustus tidak hanya diperingati dengan upacara, panjat pinang dan makan kerupuk. Aura kemerdekaan, nasionalisme, dan jasa para pahlawan harus lebih ditumbuhkan dan diperkenalkan pada momen 17 Agustus bukan sebaliknya.


You Might Also Like

0 komentar