Mau Ikut Nabi apa Ikut Ulama?
07:43:00
Sampai saat ini, saya
pribadi masih ngga nyambung dan sulit memahami beberapa kawan
yang dengan sangat kuat meyakini bahwa tidak madzhab itu sumbu perpecahan umat
dengan banyaknya perbedaan pendapat. Dan yang harus dilakukan adalah kembali ke
al-Quran dan Sunnah.
Padahal sama sekali tidak
ada satu pun ulama madzhab yang mengarang hukum; mereka semua adalah prototype manusia
paling waro’, shalih dan takut dalam membuat hukum sendiri setelah
generasi-generasi terbaik Islam (Masa Sahabat, Tabi’in dan Tabi’ al-Tabi’in).
dan tidak mungkin mereka semua mengambil hukum seenak hati dan nafsunya saja,
tapi justru mereka mengambil itu semua dari al-Quran dan Sunnah, tidak yang
lainnya. Dan memang itu yang mereka lakukan.
Sayangnya, yang mengatakan
madzhab sebagai sumber perpecahan itu tidak pernah belajar sejarah madzhab dan
imam-imamnya. Mungkin terlalu naif buat mereka untuk mempelajari perkataan
manusia yang ‘tidak makshum’ nan mulia itu, atau sudah terlanjur gengsi.
Seandainya mereka mempelajarinya dengan dada yang lapang, niscaya mereka cinta
kepada sang imam-imam madzhab.
Justru karena mereka buta
madzhab dan perbedaan pendapat itulah yang akhirnya membuat mereka menjadi
sangat naïf dalam ber-syariah dan tentu rentan perpecahan. Memaksakan orang
lain ikut sesuai pendapatnya, dan mencaci serta menjauhi mereka yang berbeda bahkan
tidak segan melabeli dengan label buruk.
Jadi sejatinya siapa yang
menjadi sumbu perpecahan? Para Imam madzhab dan pengikutnya atau yang
memaksakan kehendaknya di-amin-I oleh yang lain tapi tidak bisa?
Kita sudah banyak contohnya dalam hal bahwa ulama madzhablah pelopor persatuan dalam perbedaan pendapat mereka. Imam Malik tidak mau memaksakan pendapatnya yang terangkum dalam kitab al-Muwaththo’ untuk jadi regulasi hukum Abbasiyah. Karena itu pasti menjadi masalah di tengah masyarakat yang tidak terbiasa dengan pendapat Malikiyah di Baghdad.
Imam Ibnu Mas’ud juga tidak
mencemooh sayyidan Utsman bin Affan, dan justru menjadi makmum sholatnya.
Padahal beliau beranggapan qashar bagi musafir sedang sayyidina Utsman tidak.
Tidak pula kita mendengar
sejarahnya ada pengikut Imam Laits bin Sa’d yang datang ke Madinah untuk
menghina pengikut Imam Malik, dan juga sebaliknya.
Ikut Nabi atau Ikut Ulama?
Ini yang buruk, beberapa kawan jika mendapati orang lain beramal sesuai madzhab, tapi –menurut pemahamannya yang lemah- itu menyelisih hadits Nabi, ia langsung mengumpat:
“Ente mau Ikut Hadits Nabi apa ikut ulama madzhab? Siapa yang pantas diikuti?”
Umpatan seperti ini jelas merendahkan derajat seorang ulama yang punya kapasitas tinggi sebagai orang yang mengerti syariah. Ini seperti menuduh ikan tidak bisa berenang. Apa mereka kira ulama madzhab itu tidak mengerti hadits?
Bagaimana bisa seorang Imam
madzhab tidak mengerti hadits? Toh untuk jadi seperti itu (imam madzhab) tidak
mungkin kecuali mereka hapal lebih dari ratusan ribu hadits dengan maqshud-nya
pula. Karena seorang mujtahid, pastilah ia seorangmuhaddits (ahli
hadits)
Jelas ini penghinaan yang
nyata dari seorang yang bodoh syariah, yang hanya mengaji sabtu-ahad kepada
ulama madzhab yang kapasitasnya jauh di atas mereka semua; mengerti ayat Quran
beserta madlul-nya, paham hadits beserta manthuq-nya,
dan paling mengerti bahasa Arab beserta kaidah-kaidahnya.
Kita memang WAJIB mengikut
Nabi, tapi lewat jalur mana kita memahaminya? Apa mampu otak yang lemah ini
memahami segitu banyak hadits? Sedang bahasa Arab hanya baru bisa, ana-anta-akhi-ukhti?
Ikut Abu Bakr, Umar, Utsman
atau Ikut Nabi?
Ini yang lebih parah! Dalam beberapa masalah, beberapa kawan justru mengumpat sahabat ketika terjadi perbedaan pendapat. Ada yang mengikuti ijtihad Umar dalam suatu masalah (Tarawih 20 rokaat misalnya) yang itu tidak ada riwayat dari Nabi lalu ia katakan dengan pongah:
“Nabi tidak pernah melakukan
itu! Mau ikut Umar apa ikut Nabi?”
Dalam masalah adzan Jumat 2
kali yang merupakan Ijtihad sahabat Utsman bin Affan. Karena tidak puas dengan
pendapat ini, ia pun mengumpat lagi:
“Nabi tidak pernah melakukan
itu! Mau ikut Ustman apa ikut Nabi?”
Seakan-akan bahwa apa yang
dilakukan sayyidina Umar dan sayyidina Ustman itu menyelisih sunnah Nabi
saw. Dan bukan seakan-akan, pernyataan yang kental dengan denagn umpatan itu
jelas memberika arti bahwa sahabat tidak mengikuti Nabi, berbeda dengan Nabi.
Sahabat Tidak Mengikut Nabi?
Bagaimana bisa? Padahal mereka lah orang terdekat dengan Nabi saw, hidup bersama, selalu menemani, menyaksikan wahyu turun, mendengarkan hadits langsung, hidup berdampingan dengan Nabi saw. Tentu mereka paling mengerti maqhashid syariahyang turun dari langit melalui lisan Nabi saw. Lalu ada anak kemarin sore mengatakan:
“Mau ikut Nabi apa ikut Umar/Utsman?”
Tentu jelas ini bentuk
men-diskredit-kan kapasitas seorang sahabat sebagai ‘sahabat’ Nabi saw.
Men-diskredit-kan sama dengan menghina dan penghinaan kepada para sahabat jelas
dosa besar bahkan bisa menjurus ke-kufuran dalam Islam.
لاَ
تَسُبُّوا أَصْحَابِى فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ
أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ
Janganlah kalian mencaci
maki para sahabatku! Demi Dzat yg jiwaku ditangan-Nya, seandainya seseorang
menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, maka ia tak akan dapat menandingi satu
mud atau setengahnya dari apa yg telah diinfakkan para sahabatku.' [HR. Muslim]
Nah, jadi siapa yang
menghina sahabat sekarang?
Mereka mengisi hari-hari mereka dengan teriakan keras menghujat para penghina sahabat Nabi saw, tapi malah dengan pongah mereka termasuk kelompok yang mereka sendiri hujat, mereka sendiri menghina sahabat. Menghujat penghina sahabat tapi malah menanamkan benih kebencian dan diskreditisasi sahabat dalam hati dengan bangga.Nau’udzu billah.
Abu Bakr dan Umar Menyelisih
Nabi saw?
Kita ingat bagaimana pencapaian sayyidna Abu Bakr yang memerangi kaum pembangkat zakat yang Nabi saw tidak melakukan itu ketika masih hidup. Begitu juga wacana beliau tentang pembukuan al-Quran [tadwiin ul Qur’an], Apa kemudian ada sahabat lain menolak ikut berperang lalu mengumpat seperti anak-anak sekarang?
“Mau ikut khalifah Abu Bakr
yang tidak makshum atau ikut Nabi?”
Sayangnya kita tidak
menemukan ada riwayat seperti ini dalam kitab-kitab ulama syariah dan ulama
sejarah. Termasuk juga inisiatif khalifah yang lain. Lalu dari mana mereka
punya umpatan itu? Mencontoh siapa mereka kalau sahabat saja tidak melakukan?
Kita tahu bahwa ketika Nabi
masih hidup, Nabi menghukumi talak tiga sekaligus dalam satu majlis atau satu
kali perkataan itu tidak dihukumi sebagai talak tiga, tapi tetap talak satu.
Jadi talak itu harus terpisah agar terhitung lebih dari satu.
Tapi ketika sayyidina
Umar menjabat khalifah, di tahun ke-3 hijrah beliau memfatwakan hal yang
berbeda dengan Nabi saw, bahwa talak tiga sekaligus itu terjadi walaupun
diucapkan sekali.
Beliau fatwakan seperti itu
karena melihat banyak dari para suami ketika itu yang gegabah dan seenaknya
dalam mentalak istrinya dengan talak tiga, namun tetap mau kembali setelahnya.
Akhirnya beliau hukum sebagai talak tiga sebagai jera bagi para lelaki agar
hati-hati.
Dan semua sahabat ketika itu
tidak ada yang mengingkari, yang akhirnya fatwa beliau menjadi ijma’
Sukuti. Dan tidak ada juga sahabat yang mengumpat:
“Mau ikut Umar yang tidak
makshum, atau ikut Nabi saw?”
Sama sekali, tidak ada
riwayat umpatan ‘alay’ seperti ini.
Wallahu a’lam
Ust.Ahmad Zarkasih, Lc
Sumber : www.rumahfiqih.com
Sumber : www.rumahfiqih.com
0 komentar