Pilpres 2024 dari Kacamataku

00:52:00

Saat menulis ini, saya sendiri belum menentukan akan memilih siapa di pilres 2024 nanti. Bagi saya tidak terlalu penting, karena siapapun yang terpilih mereka merupakan putra terbaik bangsa pilihan masyarakat. Siapapun yang terpilih mereka pasti ingin memberikan yang terbaik untuk bangsa, kita masih dapat melaksanakan ibadah dengan nyaman, dapat mendengar kajian dimana saja dengan nyaman, masih dengan kegiatan yang sama. Tentu saja, nantinya jika dapat nyoblos, pasti ada kecenderungan memilih salah satu dari ketiga kandidat itu.



Berbicara tentang pilpres, ada hal yang sangat saya syukuri yaitu ketika tokoh agama yang saya kagumi berbeda dalam mendeklarasikan pilihan. Sebut saja seperti Habib Lutfi yahya, UAS, TGB, UAH, Abuya Muhtadi Dimyathi sudah mendeklarasikan pilihan masing-masing ke paslon. Tentu saja semuanya tidak sama dalam mendeklarasikan pilihan. Hal ini justru membuat saya sangat bersyukur. Dengan adanya perbedaan dikalangan tokoh agama ini, membuka kacamata masyarakat bahwa perbedaan pilihan pilpres ini bukannlah perkara yang ketika berbeda, kita bermusuhan, bertengkar, saling memaki, terpolarisasi, saling curiga, memutuskan silaturahmi. Tapi perbedaan ini adahal hal yang lumrah, biasa saja.

Bayangkan jika tokoh-tokoh agama yang saya kagumi, mendeklarasikan pilihan kepada paslon yang sama. Mudah sekali untuk saya mempolarisasi, menganggap orang lain salah, menyakiti hati mereka yang berbeda. Dengan dalih, mereka berbeda pilihan dengan tokoh agama yang saya kagumi. Tokih agama sudah menetukan pilihan yang sama lalu mengapa kamu berbeda? , buruk sangka ke sesama saudara, curiga karena tidak memilih sesuai dengan pilihan tokoh agama. Padahal itu hanya persoalan politik. Saya dapat menyebutkan, perbedaan tokoh agama yang kita kagumi dalam pilihan politik ini juga rahmah. Rahmah, karena dengan adanya perbedaan pilihan diantara mereka kita jadi tidak saling memaki, karena di semua paslon ada pilihan ulama. Rahmah, karena saling memahami bahwa beda pilihan pilpres adalah hal yang lumrah.

Jika boleh mengamati perbedaan pilres 2019 dan 2024 ada cukup banyak perbedaan dan secara umum menunjukkan bahwa ada kedewasaan masyarakat dalam menyikapi pilpres. Apa yang terjadi di 2019 yang masih terekam jelas dibayangan yaitu, polarisasi, black campaign, pengkultusan capres, putusnya silaturahmi yang begitu parah.

Masih terekam jelas bagaimana terpolarisasinya masyarakat di 2019. Bahkan di daerah, nanggroe teuleubeh ateuh rung donya heheh, sampai keluar statemen dari pemuka agama yang akan selalu saya ingat, bagaimana nafsu politik sampai seorang pemuka agama berani mengeluarkan kata-kata di media "yg pileh jokowi, buta mata, buta hate, asoe neuraka" hahahah. Ini bakal jadi komedi terlucu disetiap pilpres yang bakal selalu saya kenang . Bahwa ada yang senafsu itu dengan capres hingga menjadi panitia surga. Bagaimana terpecahnya orang-orang saat itu. Tidak sedikit yang menganggap pilihan pilpres saat itu sebagai pilihan ke neraka dan surga. Hal ini mungkin pada saat itu kandidat capres hanya 2 dan sangat rentan masyarakat untuk terpecah ke 2 kubu yang sering terdengar dengan sebutan kampret dan cebong saat itu.

Entah saya kurang update, atau memang ini menunjukkan kedewasaan masyarakat, atau bisa jadi berkurangngnya para buzzer. Yang jrlas yang saya rasakan menjelang pemilu 2024 ini untuk black campaign itu tidak separah 2019. Alhamdulillah berarti ini menunjukkan adanya kebijaksanaan masyarakat dalam memandang capres. Atau mungkin ada perubahan pola kampanye dari simpatisan masing-masing capres. Yang jelas imi suatu hal yang sangat positif. Tuduhan tak berdasar, hoax sudah sangat berkurang. Masyarakat mungkin sudah dapat membedakan antara hoax dan fakta.

 

You Might Also Like

0 komentar