Kendaraan Listrik Solusi Palsu?

05:56:00

Saat ini penggunaan kendaraan listrik terus didengungkan oleh pemerintah untuk menuju Net Zero Emission di tahun 2060. Belakangan isu tentang kotornya polusi di Jakarta yang disebabkan oleh emisi karbon dari kendaraan listrik dan aktifitas industri juga terus terdengar di media mainstream.

Namun, belakangan juga solusi yang ditawarkan oleh pemerintah dengan beralih ke kendaraan listrik banyak dipertentangkan oleh pengamat, aktivis lingkungan. Banyak yang menganggap dengan beralihnya ke kendaraan listrik juga tidak menyelesaikan permasalahan, justru itu hanya solusi palsu karena mengingat kendaraan listrik juga mengharuskan menggunakan energi listrik yang 85% masih menggunakan bahan bakar fossil.

Emisi karbon yang ada diindonesia menurut Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, Sigit Reliantoro, disumbangkan oleh sektor transportasi yang mencapai 44%, disusul industri 31%, manufaktur 10%, perumahan 14%, serta komersial 1%.

Artinya ketika menggunakan kendaraan listrik, namun sumber energinya 85% masih dengan yang menggunakan bahan bakar fossil dan 60% diantaranya adalah PLTU yang menggunakan bahan bakar fossil batubara bukanlah solusi melainkan solusi palsu. Namun, juga harus diikutkan dengan mengganti ke sumber energi yang non bahan bakar fossil. Begitu menurut penentang kendaraan listrik. Benarkah demikian?

Yang pertama, ketika sebagian masyarakat ataupun semuanya beralih ke kendaraan listrik, tentu saja angka 44% sumber polusi yang dari sektor transportasi dapat ditekan dan ini tentu saja mengurangi emisi karbon yang berdampak kepada pencemaran lingkungan, pemanasan global dan perubahan iklim. Tentu saja ini bukan solusi palsu ketika sumber penyumbang polusi udara paling besar dapat dikurangi. Meskipun secara penggunaan sumber energi listrik tentu bertambah karena banyaknya yang beralih ke kendaraan listrik dan 85% nya masih menggunakan bahan bakar fossil.

Yang kedua, untuk menuju Net Zero Emission di tahun 2060 Indonesia sudah berkomitmen untuk tidak menambah lagi pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar batu bara (PLTU) dan fokus kepada pembangkit yang bersumber terbarukan (EBT).

Kemudian untuk PLTU yang eksisting juga sudah diterapkan CO-Firing biomassa. Jadi untuk menekan emisi karbon sebagian bahan bakar batubara di ganti dengan biomassa yang bersumber dari kayu. Baik kayu limbah (termasuk sekam, padi, dll) maupun kayu hasil produksi hutan energi (lahan yang ditanami pepohonan bahan baku biomassa). CO- firing biomassa ini sudah mulai diterapkan di beberapa PLTU yang ad adi Indonesia.

Implementasi co-firing ini dapat mereduksi emisi CO2 sebesar 10% dari hasil pembakaran PLTU konvensional. Tentu saja semakin banyak biomassa yang digunakan, semakin sedikit batubara yang dibakar, dan semakin rendah emisi CO2 yang dihasilkan.

Selain itu diberbagai belahan dunia saat ini juga sudah melakukan beberapa alternatif untuk menurunkan emisi karbon yang disebut Carbon trading. Carbon trading ini memiliki 2 skema yaitu Carbon tax dan Ets (emission trading scheme). Carbon tax yaitu pihak terkait menetapkan batas tertentu carbon yang boleh dihasilkan oleh suatu industri, jika melebihi maka harus membayar tax (pajak)ke pemerintah. Sedangkan ets yaitu perdagangan carbon dimana industri tertentu ditetapkan batasan tertentu carbon yang boleh dihasilkan, apabila melebihi harus membeli kepada industri yang ambang batasnya belum melebihi,dan industri yang dapat menekan pengeluaran emisi karbon dapat memperjualbelikan kepada yang sudah melebihi ambang batas. Di negara-negara maju skema pertama terbukti lebih berdampak mereduksi emisi karbon namun dihindari oleh negara berkembang karena dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah Indonesia sedang mencoba mengadopsi skema Cap and Tax, yaitu kombinasi antara skema Cap and Trade (ETS) dengan Tax (Pajak karbon). Skema ini menetapkan batas atas (cap) jumlah emisi yang diizinkan dalam periode waktu tertentu dan memberlakukan pajak (tax) pada perusahaan yang melebihi batas tersebut. Dan juga mewajibkan PLTU di atas 100 MW yang terhubung ke jaringan PLN untuk melakukan perdagangan karbon.

Yang ketiga, ketika semuanya atau sebagiannya sudah beralih ke kendaraan listrik tentu saja pembangunan di negara kita bisa lebih baik, rupiah bisa menguat dan banyak hal lainnya yang dapat dimanfaatkan oleh pemerintah untuk kebutuhan rakyatnya. Mengapa begitu? Kita hitung-hiting dulu.

Rata-rata mobil yang ada di indonesia itu dalam setahun berjalan sekitar 20.000 km. Lalu anggaplah mobil yang ada di indonesia ini irit semua dalam 15 km menghabiskan 1 liter pertalite seharga 10 rb. Kalau kita bagikan dengan 20.000 km hasilnya 1.333 liter/tahun. Sementara itu pertalite yang kita gunakan dibeli oleh pemerintah di timur tengah bukanlah seharga 10 rb melainkan 13 rb. Dari 1.333 liter pertalite yang digunakan oleh mobil orang indonesia ada pembakaran minyak yang di subsidi pemerintah seharga 4 jt/tahun.

Menurut data yang beredar ada 22.500.000 mobil yang beredar di Indonesia saat ini, jika kita kalikan dengan pembakaran BBM subsidi dari pemerintah yang dipakai oleh semua mobil yang menggunakan pertalite, maka dalam setahun pemerintah membakar uang 90T hanya untuk mensubsidi minyak ke rakyatnya. 90T ini seharusnya bisa membangun insfrastruktur, sektor kesehatan, pendidikan. Belum lagi total pembelian minyak dari timur Tengah yang mencapai ratusan triliunan yang harus dikonversikan ke US dolar hanya untuk membeli bahan bakar minyak yang menghasilkan karbon dan memperlemah nilai tukar rupiah.

 

You Might Also Like

0 komentar