Prinsip Aljamaah Agar Tidak Bingung Beragama

01:38:00

Bagi kita seorang muslim yang bermazhab ahlussunah wal jamaah(aswjaa), terutama muqalid, dizaman fitnah, kita diarahkan untuk satu berpegang pada aljamaah, dan itu harus dijadikan prinsip hidup umat nabi muhammad saw diakhir zaman, karena banyaknya pendapat dan pemikiran yang berkembang yang akan membuat kita bingung, maka dari itu prinsip yang diutamakan adalah tetap bersama jamaah. Siapakah aljamaah itu? apakah ikut orang kebanyakan? Tentu tidak, tapi ikut jumhur ulama yang diakui banyak orang ke arah mana, insyaallah itu jalan paling aman ditengah kebingungan



Paling tidak diakhirat nanti bagi kita yang tidak berilmu ini bisa mengatakan "ya allah aku ga ada ilmu, tapi aku bersama aljamaah, bersama para ulama yang jumlahnya banyak itu, itu yang paling tampak didepan mataku, kalau bukan mereka, aku tidak tau lagi, aku tidak ikut yang aneh-aneh ya allah karena engkau telah memerintahkanku untuk ikut menjauhi mufaraqah dari jamaah, maka ampunilah aku". Kenapa hal ini begitu penting, itu karena tuhan menjamin ishmah umat muhammad saw secara mutlaq, jadi ada jaminan dari tuhan bahwa umat muhammad saw tidak mungkin melakukan kesalahan secara menyeluruh, maka dari itu prinsip aljamaah ini sangat penting.

 

Tentu saja yang dimaksud kesepakatan disini ya kesepakatan ulama, kita awam mau sepakat pun tau apa tentang agama, kecuali dasar doank, karena untuk mengatakan benar dan salah pada suatu bidang ya butuh spesialisi dibidang tersebut, kalau ga kacau, dan Islam membuka peluang untuk itu, bukan monopoli kelompok tertentu, yang belajar dengan manhaj benar ya jadi ulama, jadi kenapa para ulama? Itu karena mereka itu spesialis/takhasus dalam ilmu agama, hidup mereka dihabiskan disitu, tentu saja kita yang ga tau diperintahkan untuk mengikuti ulul ilmy,


Tapi yang perlu pada prinsip aljamaah tidak hanya bagi awam tapi juga ulama, jadi ketika jumhur ulama belok kiri, dan kita belok kanan, itu kemungkinan ada masalah pada pilihan kita, iya secara akal kita bisa benar, tapi peluangnya kecil, karena di rombongan sana ada ribuan orang berilmu, yang mana ilmunya lebih dari kita, cerdasnya lebih dari kita, salehnya lebih dari kita, pengalamannya lebih dari kita dan bashirahnya lebih dari kita, logika ya jika kita beda jalan dan pendapat dengan pendapat mereka kemungkinan besar kita yang salah, di banding mengatakan mereka bisa salah sebenarnya lebih besar peluang mengatakan kita bisa salah. Apalagi kita bukan ahli ijtihad.

 

Nah maka dari itu cara beragama dengan prinsip aljamaah seperti ini memberi rasa nyaman dan aman dalam beragama apalagi dizaman fitnah dimana sulit membedakan yang hak dan yang batil. Jadi ketika ada permasalahan agama, tinggal liat jumhur ulama ke arah mana, kalau ke kiri ya ikut, ke kanan juga ikut, insyaallah lebih aman. Siapakah jumhur ulama itu? Ya mereka yang mendapat pengakuan dari banyak ulama sebelumnya, yang ulama sebelumnya juga dapat rekomendasi dari sebelumnya, dan begitu juga yang sebelumnya sampai ke Rasulullah saw.

 

Selain itu para ulama semasa mereka yang dapat rekomendasi tadi biasanya juga dapat pengakuan oleh banyak ulama ahlul ikhtishas yang semasa dengan dalam jumlah banyak, jadi mereka dapat rekomendasi dari ulama generasi sebelumnya dan mereka juga dapat tazkiyah ahlul ikhtisas semasa satu sama lain, karena itu tradisi dalam mazhab ahlussunah. Adapun jika ada yang memberikannya tazkiyah, hanya saja jumlahnya sedikit, apalagi yang memberi tazkiyah bukan ikhtisas dalam bidang itu, ya jangan diingkari, hanya saja kalau dia bersama aljamaah diikuti, kalau beda dengan aljamaah maka lebih aman untuk dihindari, bisa jadi ada masalah tanpa diketahui pemberi tazkiyah, ini bisa dilakukan tanpa harus kurang ajar.


Lalu pertanyaannya siapa mereka dizaman ini? Di mesir mungkin ulama-ulama sepuh alazhar seperti syeikh ali jumah, syeikh ahmad thayib, dll. Di jazirah arabiyah kita mengenal ulama rubat dan shaulutiyah seperti habib umar, habib zain, sayid Muhammad, dll. Di syam kita mengenal ulama fatah, tawjih dan abu nur seperti syeikh buty, syeikh wahbah, syeikh kuftaro, dll. Di maghrib araby kita mengenal ulama makhad atiq dan mahadhir seperti syeikh talidy, syeikh ruky, syeikh abdullah bin bayyah, dll. di Turki dan asia tengah kita kenal syeikh mahmud afandi, syeikh jami, dll. Di asia selatan kita kenal ulama berelwi dan deoband seperti syeikh taqi usmany, syeikh ahmad ridha khan, diafrika kita kenal ulama tijany seperti syeikh abu bakar maiga, dl. Di asia tenaggara kita mengenal ulama sepuh aswaja baik, NU, muhammadiyah, NW, alkhairat, perti dll seperti syeikh maimun zubair, abu tumin, tuan guru turmuzi, abah sekumpul, dll.

 

Mereka ini hampir semua diakui generasi sebelumnya dan juga dapat pengakuan ahlul ikhitisas segenerasi yang juga sudah direkomendasi, dan biasanya jarang hanya mendapatkan pengakuan satu dua orang, itu seperti majhul hal, tapi mereka dapat rekomendasi dari banyak ulama dari lintas madrasah, jadi peluang salah nilai sangat kecil, jadi biasanya walaupun mereka mastur dikalangan awam, tapi dikalangan ulama mutakhasisin mereka masyhur dan diakui, dan yang paling penting mereka semua insyallah selalu mempertahankan prinsip aljamaah, insyaallah keadaan ini tidak akan membuat kita bingung.

 

Lalu apakah mereka tidak akan berbeda pendapat? tentu saja mereka kadang akan berbeda, tapi jika mereka beda pendapat biasanya tidak akan sendiri, tapi ada jamaah ulama lain yang menguatkan, saat seperti itu maka bersama aljamaah itu adalah mengikuti salah satu mazhab diantara mazhab besar itu, itu masi aljamaah, adapun ikut perorangan apalagi keluar dari yang ada itu jelas syaz atau bahkan bisa mufaraqah dari aljamaah. Jadi aljamaah bukan berarti tidak berbeda, tapi mereka tidak akan jadi kelompok kecil, dimana rujukannya tidak melimpah. Jadi apapun pilihan, tetap berada pada sejumlah besar ilmuwan, apalagi kalau mereka sepakat, maka pasti jauh lebih aman dalam beragama.

Jadi jika ingin selamat, aman dan nyaman dalam beragama, apalagi dizaman fitnah yang membingungkan ini, prinsip aljamaah inilah yang harus dipegang. Jadi kita gampang memilih keputusan yang berkaitan dengan agama, kalau sepakat Alhamdulillah, kalau ga sepakat sekalipun maka pilihan kita masih tetap bersama aljamaah. Adapun keluar dari jamaah, itu bukan ghuraba, tapi syadz

Ghuraba itu merasa asing dalam menjalankan agama yang telah sesuai dengan ajaran para ulama, hanya saja kita berada ditengah yang tidak menjalankan, jadi bukan asing dari ajaran para ulama. Kalau ditengah ashab takhasus dan spesialis kita berbeda, itu syadz. Ibarat kata para ulama semua menuju ke makkah untuk haji, kita malah ke anfield, ngapain? Nah kita selama ini sering bersama aljamaah ke makkah atau sebaliknya ke anfield?

Penulis : Fauzan Inzaghi


You Might Also Like

0 komentar