Berbeda dalam keseragaman, Elokkah ?

23:03:00


Oleh : Muhammad Areev

Tinggal beberapa hari lagi kita akan memasuki bulan suci Ramadhan, bulan terbaik diantara bulan-bulan, bulan yang dilipatgandakan tiap amal ibadah, bulan yang selalu dinanti-nantikan oleh setiap umat nabi Muhammad Saw. Berbicara tentang bulan suci ramadhan, tentu tidak lepas dengan yang namanya shalat tarawih. Dulunya, Rasulullah dan para sahabat hanya mengerjakan shalat tarawih sebanyak tiga malam kemudian Rasulullah tidak melanjutkannya karena khawatir jika terus dikerjakan Allah akan mewajibkan shalat tarawih tersebut, sehingga akan memberatkan umat di kemudian hari.

Di Indonesia sendiri yang mayoritas bermazhab syafi’iyyah, ada dua kubu yang berbeda dalam jumlah shalat tarawih. Sebagian mengatakan 20 + 3 shalat witir dan sebagian lagi mengatakan 8 + 3 shalat witir. Mengenai jumlah rakaat shalat tarawih ini jumhur ulama dari mazhab Hanafi, sebagian kalangan mazhab maliki, syafi’e dan hanbali sepakat bahwa shalat tarawih berjumlah 20 rakaat (baca : http://www.rumahfiqih.com/x.php?id=1425664628&=benarkah-jumhur-ulama-salaf-sepakat-tarawih-20-rakaat.htm ) . Kita pasti tau siapa keempat imam tersebut kan ? mereka yang hafal jutaan hadist, mereka orang yang paling paham hadist, mereka orang yang paling paham Al-Qur’an,  mereka orang yang paling dekat dengan hidupnya Rasulullah. Semoga tidak ada lagi anak-anak kemarin sore yang berani mengatakan “ hum rijal wa nahnu rijal “

Seperti  yang saya sebut di atas, kita tau mayoritas muslim Indonesia bermazhab imam syafi’I, dalam mazhab syafi’I sendiri jumlah rakaat shalat tarawih 20 rakaat + 3 rakaat shalat witir. Tetapi ada juga sebagian muslim di Indonesia entah bermazhab syafi’I atau memang karena ilmunya melebihi imam yang 4 sehingga mereka bisa beristimbat hukum sendiri, mereka beragumen bahwa shalat tarawih berjumlah 11 rakaat ( plus 3 witir).

Perbedaan tersebut tentu saja tidak boleh membuat kita harus memutuskan silaturahim, apalagi sampai takfir. Kita tau di zaman dahulu juga ada perbedaan-perbedaan di antara sahabat, imam mazhab. Tentu saja perbedaan yang dimaksud bukan dalam hal fundamental (dasar) tetapi dalam furu’iyyah (cabang) dan bagaimana respond mereka ketika mereka bertemu dengan mayoritas orang yang berbeda dengannya.

Sahabat Abdullah bin Mas’ud

Sahabat Abdullah bin Mas’ud dengan tegas menyatakan bahwa seorang musafir, afdholnya ialah sholat qashar, tidak tamm (sempurna), jika ada musafir yang sholatnya sempurna 4 rokaat, beliau mengatakan itu adalah mukholafatul-aula 

[مخالفة الأولى](menyelisih pendapat yang utama).

Akan tetapi dengan rela ia meninggalkan pendapatnya dan ikut sholat sempurna 4 rokaat di belakang Utsman bin Affan yang memandang berbeda dengannya dalam masalah ini. lalu Ibnu Mas’ud ditanya: “kau mengkritik Utsman, tapi kenapa kau mnegikutinya sholat 4 rokaat?”. Ibn Mas’ud menjawab: [الخلاف شر
“berbeda itu buruk!”.

Karena tahu, bahwa jika ia menonjolkan perbedaan itu depan umum yang tidak semuanya paham masalah tersebut, Ibnu Mas’ud memilih untuk tetap mengikuti Utsman walaupun itu menyelisih pandangannya sendiri.

Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i

Kita juga tahu secara detail bagaimana Imam Syafi’i meninggalkan qunut subuh ketika menjadi Imam untuk para pengikut Imam Abu Hanifah yang tidak melihat adanya kesunahan qunut dalam sholat subuh, di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah.

Padahal Imam Syafi’i-lah pelopor qunut subuh dan menjadikannya sunnah muakkad dalam sholat subuh yang jika meninggalkannya, maka sunnah diganti dengan sujud sahwi. Tapi beliau rela meninggalkan itu, karena tahu dimana ia saat itu.

Imam Ahmad bin Hanbal

Kita juga tahu betul bahwa Imam Ahmad bin Hanbal punya pendapat yang mengatakan bahwa orang mimisan, yang keluar darah dari hidungnya itu batal wudhunya, sama seperti orang yang berbekam.

Akan tetapi ketika ia ditanya: “bagaimana jika imam yang sedang mengimami dan anda dalam barisan makmum, lalu ia keluar darah (luka) dan tidak berwudhu lagi, apakah anda tetap sholat di belakangnya?”, Imam Ahmad menjawab:

كَيْفَ لَا أُصَلِّي خَلْفَ الإِمَامِ مَالِك وَسَعِيْدِ بْنِ اْلمُسَيِّبِ
“bagaimana mungkin aku tidak mau sholat di belakang Imam Malik dan Sa’id bin Al-musayyib?”

Indikasinya bahwa Imam Malik dan Imam Sa’id bin Al-Musayyib berbeda pandangan dengan Imam Ahmad dalam Masalah orang yang keluar darah dari tubuh, apakah batal wudhu atau tidak? tapi Imam Ahmad tidak menyalahkan mereka dan justru tetap mengikuti sholat di belakangnya. Hebat bukan?

Imam al-Sudais di Indonesia

Akhir Novermber 2014 kemarin, Imam Abdurrahman al-Sudais diberi kehormatan oleh imam besar masjid Istiqlal untuk menjadi Imam shalat jumat bagi warga Indonesia di masjid tersebut. Karena tahu bahwa orang Indonesia itu kebanyakan al-Syafi’iyyah, beliau rela melepas baju Hanbaliy-nya dengan mengeraskan bacaan “bismillah” ketika memulai al-fatihah.

Padahal itu tidak pernah beliau lakukan selama menjadi Imam masjidil-Haram, karena memang dalam madzhab Imam Ahmad bin Hanbal menetapkan “bismillah” itu dibaca sir (lirih) atau tidak dikeraskan, itulah pendapat madzhab. Akan tetapi beliau rela mengeraskan bacaan bismillah-nya, karena beliau mengerti dan faham bagaimana bersikap dalam perbedaan yang non-prinsipil ini.

Referensi :

http://www.rumahfiqih.com/fikrah/x.php?id=337&=belajar-fiqih-itu-santai.htm

You Might Also Like

0 komentar