­

Coret baju usai UN bukan Ciri Pelajar

08:08:00


Oleh : Muhammad Areev

Entah siapa yang memulai dan entah sampai kapan akan berakhir coret-coret baju dan konvoi riya usai UN yang sudah menjadi budaya yang mengakar pada setiap siswa-siswi kelas XII SMA/Sederajat usai pengumuman kelulusan UN. Imbasnya, bukan saja anak-anak SMP tapi sampai kepada anak-anak SD yang baru seumuran jagung sudah terbawa kepada budaya 'kebablasan' ini. Karena sudah menjadi hukum alam yang muda ikut yang tua. Pantas kalau saya menyebut ini budaya 'kebablasan', efeknya bukan saja merugikan diri sendiri tapi juga merugikan orang lain dan lingkungan sekitar.


Mulai dari yang sekedar memberi tanda tangan dengan menggunakan spidol, pulpen, adapula yang memasang mengecat seragam mereka dengan cat semprot, seperti pilok, dengan tulisan ‘Lulus 100 persen’, yang jelas-jelas perbuatan sia-sia yang berlebihan dan tidak ada manfaat. Begitu juga dengan coret-coret dinding-dinding umum yang dapat merusak keindahan lingkungan hingga kovoi yang mengganggu ketertiban lalu lintas. Jelas-jelas itu bukan ciri seorang pelajar yang katanya berakhlak dan bermoral. Percuma kalau kita seorang pelajar yang pintar tapi tak berakhlak. Ingat ! Negeri ini kebanyakan orang pintar tapi minim orang yang berakhlak, sedangkan negeri ini membutuhkan orang-orang yang berakhlak dan pintar.


Bukan berarti tidak boleh bersenang-senang, memang itu sebagai luapan gembira atas kelulusan yang dinanti-nantikan, tapi apakah luapan gembira dengan cara yang tidak bermanfaat, berlebihan, merusak keindahan lingkungan dan merugikan orang lain ? Tentu saja seorang pelajar yang berakhlak dan bermorak  akan menjawab "tidak". 


Kenapa luapan gembira itu tidak diarahkan kepada hal-hal yang positif. Seperti, mengumpulkan baju-baju sekolah tersebut kemudian disedekahkan kepada adik-adik leting yang membutuhkan ataupun tetap menggelar adegan corat-coret, tetapi di atas kain putih sepanjang 15 meter. Nantinya, spanduk penuh dengan tanda tangan siswa itu akan dipajang di sekolah. Tentu saja itu lebih baik daripada ingin terkenal dengan  meng-grafiti dinding-dinding umum dengan tulisan nama dan sekolahnya, bukan saja memalukan dirinya tetapi juga sekolah. Selain itu di dalam agama kita juga diajarkan apabila mendapatkan suatu kenikmatan yang luar biasa untuk sujud syukur. Yang ini jelas lebih baik lagi, selain menumbuhkan keimanan kepada pencipta juga berpahala. Untuk mendapatkan pahala tata caranya pun bukan seperti sujud syukur para pemain bola, dengan tanpa air wudhu', tanpa menghadapa kiblat dan aurat terbuka langsung cium tanah.


Untuk tahun ini saya sangat berharap semoga budaya 'kebablasan' kakak-kakak leting terdahulu tidak terbawa kepada siswa-siswi kelas XII yang sedang menantikan pengumuman kelulusan pada tanggal 18 Mei 2015. Semoga semuanya dapat lulus yang mau bekerja semoga dapat pekerjaan dan yang mau melanjutkan ke kuliah semoga dapat kuliah di PTN favoritnya. 


Mungkin agak keliru juga kalau menyalahkan para siswa/i 100 %,  ada yang salah dengan sistem pendidikan di Indonesia. Kata-kata Mas Jonru (Fp : Jonru) mungkin ada benarnya

Mengapa tradisi coret-coret baju seragam dan berpesta pora merayakan kelulusan SMA, menjadi tradisi yang terus berulang sejak dulu hingga kini?Menurut saya, itulah EKSPRESI KEBEBASAN yang sangat alamiah.Kenapa ekspresi kebebasan? Karena selama bersekolah, sebenarnya para siswa itu merasa tidak bebas. Mereka harus mengikuti sistem pendidikan yang tidak sesuai dengan karakter dirinya. Mereka merasa terkekang, seperti dalam penjara.Saat dinyatakan lulus, ALAM BAWAH SADAR mereka berkata, "Kita telah bebas dari penjara yang bernama Sekolah!"Jadi menurut saya:Cara paling efektif untuk menghentikan tradisi coret-coret baju dan pesta pora tersebut adalah MENGUBAH KURIKULUM PENDIDIKAN. Buatlah kurikulum yang GUE BANGET bagi semua siswa.Buatlah sistem pendidikan yang sesuai dengan karakter setiap anak. Bukan sistem penyeragaman seperti yang terjadi saat ini.

You Might Also Like

2 komentar