Segregasi pangkal dari Rasisme
03:35:00Beberapa
waktu yang lalu saya menonton video menarik yang dibuat oleh Nuseir Yassin yang
berjudul Segregation. Video tersebut telah di upload di 2019 silam di facebook
page resminya yang bernama Nas Daily dan telah ditonton lebih dari 1 juta orang.
Sebelumnya, kita kenalan
dulu dengan seorang Nuseir Yassin. Nuseir adalah seorang konten
creator atau travel vlogger yang berasal dari Israel. Dia terkenal lewat video
singkatnya 1 menit yang dia upload di akun facebooknya. Total lebih dari 1.000
video yang telah dibuatnya di berbagai belahan dunia.
2017 silam dia pernah ingin
mengunjungi Indonesia melalui singapura, namun terkendala di administrasi. Dia
sempat berbagi cerita kekecewaannya tidak dapat mengunjungi Indonesia padahal
sudah mengikuti semua persyaratan administrasi step by step namun berakhir
dengan ditolak alias tidak diizinkan untuk masuk ke indonesia. Kemungkinan
karena dia berpaspor Israel, mengingat Indonesia tidak mempunyai hubungan
diplomatik dengan Israel.
Video yang diunggah Nas
berjudul segregation cukup menarik perhatian dan tertarik untuk dibagikan di
tulisan ini. Nas bercerita bagaimana segregasi atau pemisahan (suatu golongan
dari golongan lainnya) ini menjadi problem tidak hanya di negaranya saat ini,
namun juga di seluruh dunia.
Israel tempat Nas berasal
antara penduduk Arab dengan penduduk yahudi tidak hidup bersama dalam satu
tempat tidak bercampur. Mereka hidup terkotakkan antara satu tempat yang
berpenduduk mayoritas Arab dan tempat lainnya yang berpenduduk mayoritas
yahudi. Arab hanya berteman dengan yang arab dan yahudi hanya berteman dengan
sesama yahudi. Mereka tidak berteman, mereka jarang berinteraksi dan
demikianlah segregasi yang ada di Israel.
London yang merupakan salah
satu kota dengan multikultural terbesar di dunia. Jika dicermati dari peta
penduduknya disana juga ditemukan adanya segregasi yang kental. Dimana mereka
yang berkulit putih menempati suatu tempat, begitu juga dengan mereka yang
berkulit hitam dan mereka yang Muslim. Mereka multikultural namun hidup dengan
terpisah-pisah.
Amerika serikat dengan
penduduk yang juga multikultural dalam hal bertetangga mereka didominasi oleh
satu kelas etnik. Di Baltimore dan Washington 60 persen diduduki oleh mereka
yang berkulit hitam dan di Nebraska 88 persen diduduki oleh mereka yang
berkulit putih.
Berbagai segregsi yang
terjadi di berbagai belahan dunia bukanlah salah siapapun. Sebagai manusia
secara normal akan lebih nyaman dan mudah berbagi budaya dan
berinteraksi dengan yang sesama latar belakang baik itu budaya,
agama, maupun suku.
Lalu yang menjadi
pertanyaan apa masalahnya ?
Masalahnya adalah segregasi
ini tidak hanya buruk, namun juga berbahaya. Ketika Muslim yang misalnya hidup
di London hanya berbagi budaya, berinteraksi dengan sesama muslim mereka tidak
ingin terintegrasi dengan orang diluar muslim, disanalah mereka
merasa memiliki Negara namun seperti tidak memiliki Negara. Lingkungan social
juga akan memisahkan diri dari mereka, ketika mereka tidak hidup bersama,
mereka akan membenci satu sama lain dan disitulah berbahaya dan dari sanalah
timbulnya rasisme..
Segregasi sebenarnya bisa
diatasi, contohnya seperti negara Singapura. Mereka mempunyai berbagai etnis
Mulai Melayu, India, China. Namun mereka di campur dan ditempatkan di dalam
satu apartemen public. Jika anda ke singapura dan berkunjung ke apartemen
public disana anda tidak akan menemukan satu apartemen diisi hanya oleh orang
melayu atau orang china atau orang india. Semuanya sudah tercampur dan mereka
saling berbagi dan berinteraksi disana.Bukan kebetulan, aturan di Negara
singapura memang seperti itu.
Contoh lain dari
percampuran etnik mungkin di Negara kita Indonesia, Transmigrasi atau
pemindahan penduduk dari kawasan padat ke wilayah jarang penduduk, dirintis
pemerintah penjajahan Belanda sejak awal abad 19. Presiden Soekarno mulai
melaksanakan program yang sama pada tahun 1950. Era presiden Soeharto program
tersebut lebih digenjot, hingga pada 1984, sudah ada kurang lebih 2,5 juta
penduduk menjadi transmigran. Tujuan utama transmigrasi ini yaitu
sumatera, Kalimantan dan Papua. Data sensus menunjukkan, pada 2010 ada 15,5
juta transmigran di Sumatera. Sekitar 2,6 juta trasmigran ada di Kalimantan,
dan sekitar 1 juta di Papua. Total jumlah seluruh transmigran di Indonesia
mencapai 20 juta jiwa. Program ini bertujuan sebagai upaya pemerataan penduduk,
peningkatan produksi pertanian.
Pun demikian, perpecahan
dan konflik akibat dari segregasi juga pernah terjadi dan menjadi
cerita kelam bagi masyarakat Indonesia. Sebut saja kasus di poso, Sulawesi
utara. Peristiwa yang awalnya bermula dari bentrokan kecil antarkelompok pemuda
sebelum berkembang menjadi kerusuhan bernuansa agama. Beberapa faktor
berkontribusi terhadap pecahnya kekerasan, termasuk persaingan ekonomi antara
penduduk asli Poso yang mayoritas beragama Kristen dengan para pendatang
seperti pedagang-pedagang Bugis dan transmigran dari Jawa yang memeluk Islam.
Di Aceh rasisme terhadap
suku jawa sangat terasa saat konflik TNI-GAM berkecamuk.Hasil dari stigma bahwa
adanya ketidakadilan rezim jawa yang berkuasa terhadap Aceh. Sayangnya,
ketidakadilan yang dirasakan oleh orang Aceh yang dilakukan pemerintah
Indonesia menjelma menjadi generalisasi kepada suku jawa.
Bahkan, waktu saya kecil ‘awak jawa’ menjadi konotasi negative untuk
mereka yang tidak bisa berbahasa aceh. Begitu juga dengan cerita-cerita adanya
ketidaknyamanan mereka yang bersuku jawa tinggal di Aceh pada waktu itu.
Baik kerusuhan di poso
maupun rasisme terhadap suku jawa merupakan buah dari segregasi. Seperti yang
telah disebutkan diatas segregasi di tengah mesyarakat merupakan hal normal
terjadi di tengah masyarakat yang hanya ingin berbagi dan berinteraksi dengan
sesamanya.
Lalu hal yang dapat
dilakukan untuk mengatasi segregasi ?
Terkait erat bagaimana
menciptakan relasi sosial. Relasi sosial mengacu kepada hubungan horizontal
antara individu dan berbagai kelompok masyarakat yang ditandai dengan
kepercayaan dan penerimaan terhadap keragaman berbagai suku, agama yang ada di
Indonesia bahkan dunia merupakan kehendak dari tuhan ‘li ta’aarafu’ untuk
saling kenal sehingga tidak perlu adanya alergi terhadap keberagaman yang sudah
dikehendaki oleh tuhan. Dari relasi social terciptanya konektivitas emosi
dimana adanya kedekatan secara emosional dan terakhir adanya komitmen terhadap
kepentingan bersama ditunjukkan dengan solidaritas terhadap sesama anggota
masyarakat.
Muhammad
Areev
Pegiat Media Sosial
0 komentar