Toleransi Umat Beragama di Aceh Tenggara

23:38:00

Aceh Tengggara merupakan sebuah kabupaten yang berada di provinsi Aceh. Kabupaten Aceh Tenggara berada di atas pegunungan dengan ketinggian diatas 1.000 meter di atas permukaan laut.  Aceh Tenggara hasil dari pemekaran kabupaten Aceh Tengah,  awal didirikannya ketika tanggal 6 desember 1957 dibentuknya panitia tuntutan rakyat Alas dan Gayo Lues mengadakan rapat yang dihadiri 60 kepala adat dan suku Alas dan Gayo Lues yang mengsilkan dua pilihan.

1. Ibukota Aceh Tengah dipindahkan dari Takengon ke Kutacane
2.  jika tidak memungkinkan memindahkan ibukota ke Kutacane,maka kewedanan Alas dan gayo lues di jadikan satu kabupaten yg tidak terlepas dari Provinsi Aceh.

Akhirnya pilihan jatuh kepada poin kedua dimana didirikan Kabupaten baru Aceh Tenggara dengan ibukota Kutacane. 

Dari segi kependudukan Aceh Tenggara lebih multikultural dibandingkan dengan kabupaten Aceh lainnya. Sebutlah Banda Aceh kebanyakan dihuni oleh masyarakat suku Aceh murni, kemudian ada Aceh bagian tengah (Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues) yang kebanyakan dihuni  masyarakat suku Gayo dan Aceh. Namun Aceh Tenggara dihuni lebih dari 3 suku bebeda. Ada suku Alas sebagai penghuni tetap kabupaten Aceh Tenggara, suku Singkil, Aceh, Karo, Batak Toba, Gayo, Jawa, Minangkabau, Mandailing, Nias dan suku Aneuk Jamee.

Hidup dalam kemajemukan tentu sulit untuk mengharapkan tidak terjadinya gesekan-gesekan diantara masyarakat. Namun, salah satu keunikan dari kabupaten ini adalah hampir sama sekali tidak terdengar gesekan atau kerusuhan di tengah masyarakat yang melibatkan SARA (Suku, Agama, dan Ras) di kabupaten ini. Masyarakat Aceh Tenggara cukup bijak dalam menjaga perdamaian dalam kehidupan yang majemuk.

Banjir bandang 11 April 2017 silam di Aceh Tenggara menjadi saksi bagi penulis bagaimana solidaritas masyarakat Aceh Tenggara kepada saudaranya yang terkena musibah banjir tanpa peduli latar belakang suku, agama dan ras. Mereka bersama membersihkan jalan, rumah menyediakan makanan untuk korban banjir.

Di Kabupaten Aceh Tenggara ini mempunyai dua umat beragama islam yang mayoitas dan juga kristen. Adanya dua keyakinan ini tentu saja menghadirkan banyak tempat beribadah kedua agama ini, masjid dan Gereja. Saat hari jumat tiba masyarakat yang beragama islam menunaikan shalat jumat dengan khidmat di masjid,  mereka yang non muslim turut menghentikan aktifitas mereka, menutup kedai, toko menghormati mereka yang sedang menunaikan shalat jumat. Sebaliknya, pada hari minggu ketika umat kristiani mengadakan ibadah mereka dapat melaksanakan ibadah dengan tenang dan nyaman tanpa ada gangguan dari umat islam.


Inilah perbedaan yang kita harapkan. Perbedaan yang dapat menyatukan kita bersama. Bukan perbdaan yang saling alergi antara satu dengan yang lainnya. Sikap toleransi masyarakat Aceh Tenggara ini patut di contoh oleh kabupaten lain di Indonesia terutama di Aceh.

Kita yang mayoritas beragama islam tidak perlu alergi dengan mereka yang non islam. Toh, perbedaan itu sebuah keniscayaan. Di akhir tulisan ini saya ngin mengutip perkataan salah satu pakar hadist terbaik yang dimiliki Indonesia Almarhum Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. Dalam ceramahnya beliau pernah mengungkapakn alasan mengapa Bung karno membuat Masjid Istiqlal derdekatan dengan ketedral. Itu bukan tanpa alasan, melainkan supaya orang tahu indonesia itu negara yang majemuk. Saat orang islam masuk ke dalam masjid kadang mereka akan mendengarkan suara lonceng di ketedral begitu juga mereka yang di dalam ketederal kadang akan mndengarkan suara azan. Inilah resiko dari perbedaan.




You Might Also Like

0 komentar